Advokat.WahanaNews.co, Jakarta - Sebagian besar negara di seluruh dunia memandang organisasi advokat (OA) dengan wadah tunggal (single bar) sebagai yang paling ideal, tetapi Indonesia mengambil pendekatan berbeda.
Meskipun melintasi 5.120 kilometer dari Sabang hingga Merauke dengan ribuan pulau, Indonesia justru memiliki puluhan OA.
Baca Juga:
Sambut Baik Dukungan Aktivis Alumni Mahasiswa Jakarta Raya, Al Haris : Buktikan Kita Solid
Saat negara-negara di dunia bergerak maju dengan mengutamakan pentingnya profesionalitas dalam penegakkan hukum serta kepastian bagi para pencari keadilan lewat single bar, Indonesia malah berjalan mundur, dengan terpecah-pecahnya OA.
Ditaksir saat ini ada sekitar 50 lebih OA, mulai dari yang memiliki puluhan ribu anggota sampai hanya segelintir pengurus saja.
Menjamurnya OA tak pelak lagi merupakan dampak dari Surat Ketua Mahkamah Agung No. 73/KMA/HK.01/IX/2015, tertanggal 25 November 2015, terkait Penyumpahan Advokat, yang ditujukan kepada Ketua Pengadilan Tinggi seluruh Indonesia.
Baca Juga:
Aktivis Alumni Mahasiswa Jakarta Raya Dukung Al Haris - Sani di Pilgub Jambi 2024
Uniknya, yang jadi rujukan keluarnya surat yang diteken Ketua MA Prof. Hatta Ali tersebut adalah UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat.
MA dalam suratnya itu menuding Peradi telah pecah. Padahal, amanat UU 18/2003 itu juga jelas menyebutkan bahwa hanya ada wadah tunggal yakni, Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi). Bahkan, Mahkamah Konstitusi (MK) dalam amar putusannya juga telah menyatakan Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi), sebagai satu-satunya wadah profesi advokat menurut UU Advokat.
Namun hingga kini, SKMA 73/2015 tersebut masih jadi rujukan lahirnya OA-OA baru. Bisa dikatakan SKMA 73/2015 menjadi legitimasi perpecahan di tubuh OA.
Momentum peresmian Peradi Tower di bilangan Jakarta Timur, Rabu (17/1/2024), merupakan saat yang tepat untuk kembali mengingatkan Ketua Mahkamah Agung Prof Syarifuddin–yang hadir ketika itu, akan pentingnya single bar pada organisasi advokat.
“Perlu saya jelaskan bahwa di seluruh dunia, organisasi advokat selalu berbentuk single bar. Tujuannya, agar memberi kepastian hukum bagi para pencari keadilan dengan kualitas advokat yang profesional,” kata Prof Otto Hasibuan Ketua Umum Dewan Pimpinan Advokat (DPN) PERADI, dihadapan Ketua MA, Wakil Ketua MPR, Wakil Ketua KPK, Kabaharkam Polri Komjen Mohammad Fadil Imran, tamu-tamu undangan lainnya, dan ratusan advokat yang memadati Peradi Tower, hari ini.
Coba bayangkan, lanjut Prof Otto, seorang advokat yang tidak profesional dalam menangani perkara kliennya, lalu dilaporkan.
“Sekalipun dipecat di OA yang menaunginya, dia bisa pindah ke OA lain. Begitu seterusnya. Selain itu, dengan single bar, kualitas advokat akan lebih terjamin dibandingkan kalau banyak OA,” terangnya.
Prinsip single bar, sambung Prof Otto, merupakan cara terbaik untuk memberikan pelayanan hukum maksimal kepada para pencari keadilan.
“Bicara advokat nakal itu banyak sekali. Bahkan pada kurun 2020-2023, Dewan Pengawas Daerah Peradi DKI Jakarta telah menyidangkan sekitar 129 kasus, akibat ketidakprofesionalan advokat yang kebanyakan dilaporkan oleh para klien. Apa kita mau demikian? Padahal, profesi advokat itu officium nobile (terhormat) atau the best among the best (terbaik di antara yang terbaik),” urainya.
Baginya, bila kondisi multi-bar ini dipertahankan terus, maka kasihan para advokat yang benar-benar berjibaku memberikan pelayanan hukum terhadap kliennya, tanpa miring ke kanan atau ke kiri.
“Jujur, saya merasa malu dengan President International Bar Association (IBA) Akira Kawamura, saat meminta menjadi Ahli pada persidangan di MK terkait single bar. Saat saya hubungi, dia bingung karena menganggap dengan UU 18/2003, Indonesia sudah menganut single bar, namun faktanya tidak demikian,” beber Prof Otto.
Dia ingat, Presiden IBA sampai mengatakan, kenapa Indonesia jadi kembali mundur, sementara negara lain ketika itu banyak mencontoh Indonesia yang sudah sukses menerapkan single bar.
“Saya sampai tidak bisa berucap apa-apa karena merasa malu, kok negara ini jadi mundur dibanding negara-negara lain di dunia,” aku Prof Otto.
Karena itu, Prof Otto menegaskan bahwa single bar tetap akan menjadi perjuangan Peradi yang ia pimpin.
“Kami tidak akan surut memperjuangkan single bar karena itu menjadi pola terbaik yang memberi kepastian kepada para pencari keadilan,” tukasnya.
Dirinya juga menyatakan, tidak akan lelah untuk terus menyuarakan single bar.
“Memang bukan perjuangan mudah, tapi harapan kami bisa menggugah nurani Ketua MA agar melihat secara holistik bahwa dengan single bar, maka penegakkan hukum di Indonesia akan lebih maksimal lagi,” ucapnya di sesi jumpa pers.
Dia mencontohkan, upaya penyatuan Peradi telah coba dilakukan. Sayangnya, tidak dibarengi dengan ketulusan hati dari Peradi-Peradi lain, di luar yang ia pimpin.
“Seperti masih ada yang mengganjal. Mungkin butuh waktu,” imbuhnya.
Dengan santun, Prof Otto mengajak Ketua MA dan para tamu undangan lainnya untuk bisa melihat bahwa banyak sisi positif bila single bar diterapkan. Selain merupakan amanat UU 18/2003, juga akan menguntungkan bagi para pencari keadilan.
“Silahkan saja banyak OA, dengan dalih kebebasan berserikat dan berkumpul sesuai UUD 1945, namun hanya ada satu OA yang menjalankan 8 amanat sesuai UU Advokat, yakni PERADI. Dengan begitu, maka profesionalitas dan kinerja para advokat bisa terawasi. Negara pun akan diuntungkan dengan hal tersebut,” pungkasnya.
[Redaktur: Amanda Zubehor]