Wahanaadvokat.vom | Guru Besar Hukum Pidana Universitas Indonesia Topo Santoso mengatakan Rancangan Undang-Undang tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) menjadi payung hukum penyelesaian pidana melalui keadilan restoratif.
“RUU KUHP ini sebenarnya menjadi payung hukum juga bagi adanya restorative justice atau keadilan restoratif,” ujar Topo Santoso saat menjadi pemateri webinar nasional bertajuk “Re-inventing Arah Pembangunan Hukum Nasional” yang disiarkan langsung di kanal YouTube Pascasarjana FH UII, dipantau dari Jakarta, Kamis (30/12/2021).
Baca Juga:
IKADIN Sambut Baik Disahkannya RUU KUHP Jadi Undang-undang
Payung hukum itu, kata Topo Santoso, dimuat dalam Pasal 51, Pasal 54 ayat (1) huruf (j) dan (k), serta usulan penambahan butir dalam Pasal 132 RUU KUHP.
Lebih lanjut, ia pun menjelaskan satu per satu isi pasal yang dapat menjadi payung hukum bagi penyelesaian pidana melalui keadilan restoratif tersebut.
Pertama, ujar Topo Santoso, ada Pasal 51 RUU KUHP yang menyebutkan bahwa pemidanaan bertujuan untuk menyelesaikan konflik yang ditimbulkan akibat tindak pidana, memulihkan keseimbangan, serta mendatangkan rasa aman dan damai dalam masyarakat.
Baca Juga:
RUU KUHP Disahkan Menjadi UU, Sekjen Kemenkumham : Alhamdulillah
Selanjutnya, ada pula Pasal 54 ayat (1) huruf (j) dan (k) RUU KUHP yang menyebutkan bahwa dalam pemidanaan, wajib dipertimbangkan pemaafan dari korban dan/atau keluarganya, dan/atau nilai hukum dan keadilan yang hidup dalam masyarakat.
“Jadi, pasal ini juga memberi tempat, ruang, ataupun payung bagi adanya penyelesaian-penyelesaian tindak pidana di luar pengadilan, khususnya keadilan restoratif,” jelas Topo Santoso.
Lalu, ucap dia, terdapat usulan penambahan butir dalam Pasal 132 RUU KUHP dari Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Indonesia Judicial Research Society (IJRS), Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan (LeIP), Australia Indonesia Partnership for Justice (AIPJ2), dan Bappenas pada 29 September 2021 perihal ketentuan gugurnya kewenangan penuntutan.