Advokat.WahanaNews.co | Mahfud MD menjelaskan secara hukum tata negara presiden tidak dalam posisi menolak kebijakan DPR.
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) itu menyebut Presiden Joko Widodo tak bisa menolak pencopotan Aswanto dari Mahkamah Konstitusi (MK).
Baca Juga:
Respons Putusan PTUN Jakarta, Anwar Usman Ajukan Banding
"Keputusan jabatan publik yang ditentukan dan ditetapkan DPR itu, pemerintah bukan mengangkat, tetapi istilah hukumnya meresmikan. Artinya, presiden tak boleh mempersoalkan alasannya," kata Mahfud di Lubang Buaya, Jakarta, Sabtu (1/10).
Mahfud menjelaskan para hakim MK dipilih oleh tiga lembaga berbeda, yaitu tiga dipilih presiden, tiga dipilih DPR, dan tiga dipilih Mahkamah Agung (MA).
Dia berkata pemerintah tak bisa ikut campur mekanisme pemilihan tiga hakim yang dipilih DPR. Mereka hanya berwenang mengurus tiga hakim pilihan presiden.
Baca Juga:
Sidang Sengketa Pileg Bakal Dipercepat MK, Agar Tak Hambat Pelantikan
"Kalau di DPR mekanismenya saya tidak tahu, di MA juga saya tidak tahu, yang pemerintah akan kita olah agar tidak terjadi kejutan-kejutan," ujarnya.
Sebelumnya, DPR tak memperpanjang masa jabatan Aswanto sebagai hakim konstitusi. Ketua Komisi III DPR Bambang Wuryanto menyebut pihaknya mencopot Aswanto karena menganulir undang-undang produk DPR di Mahkamah Konstitusi.
"Tentu mengecewakan dong. Ya bagaimana kalau produk-produk DPR dianulir sendiri oleh dia, dia wakilnya dari DPR. Kan gitu toh," ucap Bambang di Gedung DPR pada Jumat (30/9).
Kritik dari Setara
Direktur Eksekutif Setara Institute Ismail Hasani mengatakan DPR telah merusak independensi hakim MK dengan pencopotan Aswanto.
"Pencopotan Hakim Konstitusi, Aswanto, dari jabatan sebagai Hakim Konstitusi oleh DPR adalah peragaan politik kekuasaan yang melanggar UU dan merusak independensi hakim dan kelembagaan Mahkamah Konstitusi," kata Hasani dalam keterangan resmi, dikutip Sabtu (1/10).
Merujuk UU Mahkamah Konstitusi, kata Hasani, mekanisme pemberhentian jabatan hakim konstitusi dilakukan saat masa jabatan yang bersangkutan telah habis atau telah mencapai usia 70 tahun sebagaimana norma yang dibuat sendiri oleh DPR dalam revisi ketiga UU MK.
"Jika pun pemberhentian itu dilakukan di tengah masa jabatan, karena tersandung pelanggaran etik atau melakukan tindak pidana, maka pemberhentian hanya bisa dilakukan melalui Keputusan Dewan Etik Mahkamah Konstitusi," ujarnya. [tum]