Wahanaadvokat.com | Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) menyebut kebebasan sipil di Indonesia memburuk dalam lima tahun terakhir.
Temuan itu dipresentasikan pendiri SMRC Saiful Mujani pada program Bedah Politik bersama Saiful Mujani episode “Demokrasi Kita Makin Mundur? Opini Publik Nasional” sebagaimana dilihat dari kanal YouTube SMRC TV, Sabtu (21/5/2022). Episode ini untuk mengenang peringatan 24 tahun Reformasi.
Baca Juga:
Hasil Survei SMRC: Pemilih PKS, PKB, Nasdem Pilih Anies di Pilkada Jakarta
Saiful menunjukkan beberapa indikator kebebasan sipil mengalami pelemahan. Data dari September 2017-Maret 2022 menunjukkan bahwa sampai pada April 2019, presentase warga yang mengaku puas atau cukup puas terhadap kondisi kebebasan berpendapat relatif tinggi, sekitar 79 persen.
“Namun setelah Pemilu 2019, mengalami penurunan yang cukup tajam, dari 79 persen pada April 2019 menjadi 56 persen pada Juni 2020, dan 63 persen pada Maret 2022. Sebaliknya, yang menyatakan kurang atau tidak puas mengalami kenaikan, dari 18 persen pada April 2019 menjadi 33 persen pada Maret 2022,” kata Saiful.
Menurut Saiful, data temuan SMRC ini konsisten dengan data dari Freedom House tentang menurunnya kualitas demokrasi Indonesia. “Jadi penilaian masyarakat biasa dari Aceh sampai Papua dengan penilaian panel ahli dari Freedom House kurang lebih sama,” ungkapnya.
Baca Juga:
Dua Lembaga Survei Nasional Unggulkan Duet Melki Laka Lena-Jane Natalia Suryanto di Pilgub NTT 2024
Guru Besar Ilmu Politik Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta ini mengatakan dalam demokrasi, pandangan warga tentang kinerja pemerintah dan politik, termasuk demokrasi, biasa dipakai untuk melakukan evaluasi terhadap demokrasi suatu negara. “Dalam studi-studi opini publik di dunia, kinerja demokrasi diukur salah satunya dengan pertanyaan, ‘seberapa puas atau tidak puas anda dengan pelaksanaan demokrasi kita sejauh ini’?,” ujarnya.
Kebebasan Berkumpul
Pada indikator kebebasan berkumpul atau berserikat, menurut Saiful, datanya kurang lebih sama, yaitu ada penurunan pascapemilu 2019. Dari 86 persen pada survei April 2019 menjadi 59 persen pada September 2020, dan 68 persen pada Maret 2022. Sementara yang menyatakan sebaliknya, kurang atau tidak puas, mengalami lonjakan dari 9 persen pada April 2019 menjadi 37 persen setahun setelahnya dan sekarang (Maret 2022) 27 persen. “Penurunan ini belum menunjukkan gejala normal atau membaik kembali,” kata Saiful.
Data yang dimiliki oleh SMRC tentang kebebasan bicara masalah politik, sudah ada sejak tahun 2004. Sebelum 2019, di atas 60 persen warga merasa jarang atau tidak pernah merasa takut bicara masalah politik. Namun, setelah itu mengalami penurunan. Sebaliknya yang merasa sekarang warga sering atau selalu takut bicara masalah politik mengalami kenaikan dari 16 persen pada 2014 menjadi 43 persen pada 2019. “Ini konsisten dengan data sebelumnya,” tutur Saiful.
Saiful menyebut beberapa contoh yang terkait dengan penurunan indikator demokrasi ini antara lain peristiwa pembunuhan anggota laskar FPI, sebuah partai yang hendak diambil alih oleh aparat negara, termasuk pembubaran FPI dan HTI. “Saya tidak setuju dengan cita-cita HTI, juga perjuangan FPI, tetapi membubarkan dan melarang mereka, secara norma demokrasi itu tidak benar,” kata Saiful.
Tentang persepsi apakah sekarang masyarakat takut terhadap penangkapan semena-mena oleh aparat hukum, Saiful menyebut yang mengatakan selalu atau sering mengalami kenaikan, dari 24 persen pada Juli 2014 menjadi 38 persen pada Mei 2019, dan 43 persen pada survei Maret 2022.
Sementara, tren masyarakat takut ikut berorganisasi juga memburuk walaupun tidak setajam indikator-indikator sebelumnya. Indikator ini memburuk dari 81 persen yang menyatakan jarang atau tidak pernah pada 2009 menjadi 64 persen pada Maret 2022. Menurut Saiful, seharusnya ini tidak boleh terjadi. “Kalau tidak naik, minimal stabil di angka 80-an,” katanya.
Sementara yang menyatakan masyarakat sering atau selalu takut ikut organisasi mengalami kenaikan dari 14 persen pada 2014 menjadi 25 persen pada 2022.
Melaksanakan Ajaran Agama
Pada indikator melaksanakan ajaran agama, data SMRC menunjukkan bahwa pada survei April 2009, 95 persen warga pernah merasa bahwa masyarakat jarang atau tidak pernah takut melaksanakan ajaran agama. Walaupun masih tinggi, menurut Saiful, angka ini menurun menjadi 76 persen pada Maret 2022.
“Ini agama yang diyakini oleh orang sangat kuat, sangat penting, yang oleh karena itu mestinya dilindungi, tetapi kenyataannya mungkin hanya kelompok agama tertentu yang merasa seperti itu. Kelompok agama lain tidak merasakan adanya kebebasan untuk menjalankan agamanya,” ungkapnya.
Selain kasus-kasus pelanggaran kebebasan beragama, seperti dialami kelompok Syiah, Ahmadiyah, Komunitas Eden, dan lain-lain, Saiful juga melihat bahwa secara sistematik dalam struktur kekuasaan, ada hukum yang melanggar kebebasan sipil, yaitu undang-undang tentang penodaan agama.
“Itu yang menjadi masalah. Kita tidak akan mengalami pendewasaan dalan civil liberties, kebebasan dan demokrasi, selama dalam struktur kekuasaan masih ada kaidah-kaidah yang membenarkan menjebloskan orang ke penjara hanya karena beda pendapat,” tegasnya.
Saiful mencontohkan kasus Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Menurunya, Ahok berhak untuk menafsirkan agama apa pun, termasuk agama yang bukan agamanya. “Itu bagian dari kebebasan orang untuk berpendapat. Itu adalah wilayah publik, mestinya bisa dibicarakan secara terbuka,” kata Saiful.
Menurut Saiful, konstitusi Indonesia tidak melarang agama apa pun, tetapi kemudian dibuat undang-undang bahwa yang diakui hanya agama tertentu saja. Karena itu, ada hal-hal yang mendasar yang menjadi turunan konstitusi yang tidak konsisten. “Konstitusi sudah melindungi (kebebasan beragama), dan itu bagus, tetapi undang-undang turunannya yang buruk,” tuturnya.
Seharusnya, Saiful mengatakan hal itu bisa diuji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK). Namun, berdasarkan pengalaman selama ini, menurutnya, MK tidak cukup memberi pencerahan untuk mengembangkan kebebasan sipil dalam masyarakat kita.
“Hal ini menjadi satu tantangan kita ke depan karena demokrasi banyak bertumpu pada persoalan penegakan hukum. Kalau aspek ini buruk, kita tidak bisa berharap banyak pada demokrasi kita ke depan,” imbuhnya.
Saiful menyimpulkan bahwa dilihat dari indikator-indikator ini, kualitas demokrasi atau kebebasan sipil Indonesia memburuk. Hal ini sejalan dengan data dari Freedom House yang menggunakan metode panel ahli.
Menurut Freedom House, Saiful mengatakan semua pejabat publik yang memiliki wewenang untuk membuat keputusan-keputusan strategis itu harus memiliki mandat dari rakyat. Dua tahun ke depan, Indonesia akan memiliki pejabat-pejabat publik yang tidak punya mandat dari raktyat.
Sejumlah gubernur akan diangkat oleh presiden, karena ada pilkada. Saiful khawatir fakta ini akan dinilai olef Freedom House bahwa kekuasaan di daerah-daerah tidak memiliki mandat dari rakyat. “Ini akan mengurangi nilai demokrasi Indonesia,” demikian Saiful. [tum]