Wahanaadvokat.com I Terkait duplik Penasihat Hukum terdakwa Heru Hidayat yang dibacakan dalam persidangan Senin, (20/12/2021) Kejaksaan agung mengatakan perlu dipahami bahwa putusan Hakim yang bersifat ultra petita dibenarkan.
Dikutip dari website resmi Kejaksaan Agung RI, berdasarkan hukum acara pidana Indonesia sebagaimana diatur dalam Pasal 182 ayat (4) KUHAP, yang mengatur musyawarah terakhir untuk mengambil keputusan harus didasarkan atas surat dakwaan dan segala sesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan di sidang.
Baca Juga:
Kasus Jiwasraya, Kejagung Sita Aset Tambang Heru Hidayat
Artinya berdasarkan ketentuan tersebut, Majelis Hakim dalam memutus suatu perkara tidak semata-mata hanya berdasarkan pada surat dakwaan, namun juga berdasarkan atas segala sesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan di sidang.
Ratio logis yang dianut KUHAP adalah Hakim dalam memeriksa perkara bersifat aktif dan bebas mempertimbangkan segala sesuatunya yang terkait dengan perkara yang sedang diperiksa tersebut.
Oleh karena itu, sepanjang hal tersebut dimaksudkan untuk memenuhi kepentingan masyarakat luas atau publik maka putusan Hakim harus berani mengakomodir nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat, termasuk didalamnya berani menerapkan asas hukum yang dianggap memberikan rasa keadilan dan kemanfaatan kepada masyarakat dan negara.
Baca Juga:
Kasus Jiwasraya: Lahan Tambang, hingga Aset Pelabuhan Heru Hidayat Disita
Di dalam perkara aquo Terdakwa didakwa dengan Pasal 2 ayat 1 UU Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) dan pada saat di persidangan ditemukan hal-hal yang memberatkan akibat perbuatan pidana yang dilakukan oleh Terdakwa yaitu di dalam perkara PT. ASABRI (Persero).
Terdakwa Heru Hidayat telah melakukan suatu perbuatan tindak pidana korupsi secara bersama-sama yang menimbulkan kerugian keuangan negara sangat besar dengan jumlah seluruhnya sebesar Rp22.788.566.482.083,00.
Dimana atribusi dari kerugian keuangan negara tersebut dinikmati Terdakwa Heru Hidayat sebesar Rp12.643.400.946.226..
Dalam praktik peradilan, Hakim memutus perkara di luar dari pasal yang didakwakan kepada Terdakwa adalah bukan sesuatu hal yang baru.
Terkait putusan perkara atas nama Susi Tur Andayani hanyalah salah satu contoh sebagai penegasan bahwa Putusan Hakim diberikan kebebasan untuk memutus perkara di luar dari pasal yang didakwakan oleh Penuntut Umum kepada Terdakwa.
Putusan-putusan Hakim lain yang menggambarkan kebebasan memutus dapat dilihat, antara lain dalam putusan Hakim pada Pengadilan Negeri Boyolali Nomor: 02/Pid.B/2007/PN.Bi dengan Terdakwa I Aagus Santoso dan Terdakwa II Yusroni (Pengeroyokan Psl 170 KUHP), dan juga Putusan Mahkamah Agung Nomor: 810 /K.Pid.sus/2012 (Narkotika) dengan Terdakwa Iidris Lukman bin Loman Hendrik.
Selain itu, di dalam Persidangan terungkap fakta bahwa Terdakwa tidak memiliki sedikit pun empati dengan beritikad baik mengembalikan hasil kejahatan yang diperoleh dan telah dinikmatinyanya secara sukarela serta tidak pernah menunjukkan bahwa perbuatan yang dilakukannya adalah salah.
Bahkan telah dilakukan berulang-ulang karena beranggapan bahwa transaksi di pasar modal yang dilakukannya adalah perbuatan perdata yang lazim dan lumrah.
Padahal banyak pihak dirugikan terutama negara dirugikan dengan timbulnya kerugian keuangan negara yang dinikmati oleh Terdakwa Heru Hidayat dari dua perbuatan pidana tindak pidana korupsi yang dilakukan secara berulang-ulang (Jiwasraya dan Asabri) yaitu sebesar Rp 23.372.184.321.226. (tum)