Wahanaadvokat.com | Majelis Ulama Indonesia (MUI), menyoroti pernikahan beda agama yang berlangsung di Katedral Jakarta. Hal itu disebut- sebut tidak sah menurut hukum negara.
Pernikahan Beda Agama antara Staf Khusus (Stafsus) Presiden Joko Widodo (Jokowi) Ayu Kartika dan Gerald Sebastian ramai disorot publik.
Baca Juga:
Bahas Masa Depan Gereja Katolik, Paus Fransiskus Buka Sinode Para Uskup Sedunia di Roma
Terkait hal itu, Uskup Agung Jakarta Kardinal Romo Ignatius mengatakan, tidak ada masalah dengan pernikahan Ayu Kartika dan Gerald Sebastian.
Gereja Katolik kata dia memberi kelonggaran kepada pasangan pengantin yang memang ingin menikah beda agama.
Perkawinan, kata Uskup adalah hak setiap orang yang tidak bisa dilarang-larang pihak tertentu.
Baca Juga:
Hari Ini, 296 Anak Umat Katolik Paroki Santa Maria Gunungsitoli Terima Sakramen Krisma
“Menikah itu hak asasi manusia. Agama juga hak asasi manusia, jadi gereja, dalam hal ini ordinaris wilayah, memberi dispensasi untuk nikah beda agama,” kata Romo Ignatius kepada wartawan Sabtu (19/3/2022).
Adapun pernikahan beda agama antara Ayu Kartika Dewi dan Gerald Sebastian ini menyita perhatian publik, salah satu pihak yang ikut menyoroti hal itu adalah Sekretaris Jenderal (Sekjen) Majelis Ulama Indonesia ( MUI ), Amirsyah Tambunan. Dia menentang hal itu.
Amirsyah menegaskan, pernikahan seperti itu seharusnya tidak terjadi lantaran dilarang peraturan negara. Dalam Pasal 2 ayat 1 UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dijelaskan bahwa perkawinan sah jika dilakukan menurut hukum agama dan kepercayaan masing-masing.
“Jelas (nikah) beda agama tidak dibolehkan,” kata Amirsyah kepada wartawan Sabtu (19/3/2022.
Adapun Ayu Kartika Dewi adalah seorang Muslim, dia menikah dengan pasangannya yang seorang Katolik. Prosesi Pemberkatan dilakukan di Gereja Katedral Jakarta Jumat (18/3/2022) kemarin
Menurut Amirsyah, pernikahan yang direstui hukum negara adalah perkawinan sesama agama.
“Harus dengan seagama karena sesuai dengan keyakinan.” tuturnya.
Amirsyah melanjutkan, urusan pernikahan juga telah diatur dalam Undang - undang Dasar 1945. Itu diamanatkan pada Pasal 29 Ayat 1 yang menyatakan bahwa ‘Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa’, sedangkan ayat 2 berbunyi ‘Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu’.
Kemudian terkait ijab kabul, yaitu sah atau tidaknya pernikahan beda agama, menurut Amirsyah, kembali lagi kepada UU 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
“Nah, seperti UU Tahun 74 cek lagi. Itu jelas bahwa itu perkawinan dalam undang-undang itu seagama, bukan berbeda agama.” [tum]