Wahanaadvokat.com I Soal wacana Jaksa Agung ST Burhanuddin yang akan memberikan hukuman mati bagi koruptor kelas kakap di Indonesia dikritisi Amnesty International Indonesia (AII) mengkritisi.
Hal tersebut dianggap tak efektif untuk memberi efek jera.
Baca Juga:
Selama Januari-Juni 2024, Kejati Sumut Tuntut 44 Terdakwa Kasus Narkoba dengan Hukuman Mati
"Hukuman mati tidak terbukti menimbulkan efek jera," kata Direktur Eksekutif AII, Usman Hamid kepada wartawan, Senin (6/12).
Dalam hal ini, Usman beranggapan bahwa efektivitas penegakan hukum terhadap suatu perkara hanya dapat dilakukan melalui kepastian hukum. Ia menjelaskan bahwa negara dengan tingkat korupsi rendah seperti Selandia Baru, Denmark dan Finlandia tak memberlakukan hukuman mati.
Justru, lanjut dia, negara-negara seperti Tiongkok, Korea Utara dan Irak yang malah memiliki tingkat korupsi jauh lebih tinggi. Bahkan, menurut Usman, negara itu memiliki tingkat korupsi lebih tinggi dari Indonesia.
Baca Juga:
JPU Pasaman Tuntut Pidana Mati Terhadap Tiga Terdakwa Narkoba Sabu-Sabu di Sumbar
"Karena itu, jika ingin menimbulkan efek jera dan memberantas korupsi, seharusnya Jaksa Agung dan aparat penegak hukum lainnya fokus untuk memastikan bahwa semua pelaku korupsi bisa dibawa ke pengadilan, bukan bermain retorika soal hukuman mati," ucap Usman.
Oleh sebab itu, ia tak sependapat apabila pemberian hukuman maksimal dianggap sebagai cara untuk menyelesaikan suatu permasalahan hukum. Belum lagi, Usman melihat bahwa hukuman mati tersebut sebagai suatu bentuk pelanggaran hak asasi manusia yang disepakati dalam Deklarasi Universal HAM.
"Terlepas dari siapa yang dituduh melakukan kejahatan, sifat kejahatan, bersalah atau tidak bersalah, ataupun metode eksekusi yang digunakan," jelasnya.
Sebagai informasi, Jaksa Agung ST Burhanuddin beranggapan bahwa tuntutan hukuman mati bagi terdakwa kasus korupsi kelas kakap harus dikaji agar dapat dilakukan. Ia mengklaim bahwa masyarakat pun memandang penerapan hukuman mati terhadap koruptor sebagai perlindungan hak asasi manusia (HAM).
Burhanuddin mengibaratkan koruptor sebagai seorang penjahat kemanusiaan. Ia mengatakan bahwa mereka adalah musuh bersama yang harus ditumpas.
Sehingga, Ia meminta agar pihak-pihak yang tak mendukung gagasan pemberian hukuman mati bagi koruptor dapat memberikan pengkajian yang utuh terkait dasar argumentasi yang dikeluarkannya. Ia menegaskan bahwa negara dapat mengabaikan HAM apabila orang tersebut tak melakukan kewajiban asasi yang diatur dalam perundang-undangan.
Sementara itu, Kejaksaan Agung membeberkan sejumlah alasan yang membuat pihaknya menuntut mati terdakwa kasus dugaan korupsi pengelolaan keuangan PT ASABRI (Persero), Hery Hidayat dalam sidang yang digelar pada Senin (6/12).
Dalam hal ini, salah satu pertimbangan yang dinilai jaksa memberatkan tuntutan tersebut ialah Heru juga merupakan terpidana dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi PT Jiwasraya (Persero) yang merugikan keuangan negara hingga Rp16,8 triliun. Dimana, dalam kasus itu atribusi keuntungan Heru mencapai Rp10,7 triliun.
Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Leonard Eben Ezer Simanjuntak mengatakan bahwa skema kejahatan yang dilakukan terdakwa di kedua kasus mega korupsi tersebut sangat sempurna dan dilakukan secara berulang-ulang.
Jaksa menilai bahwa perbuatan terdakwa telah mengakibatkan banyak korban dari unsur TNI, Polri hingga PNS di Kementerian Pertahanan yang menjadi peserta di PT ASABRI (Persero) merugi. Sehingga tindakan tersebut dinilai telah mencabik-cabik rasa keadilan masyarakat dan hancurkan wibawa negara. (tum)