Wahanaadvokat.com I Ceramah Yahya Waloni dikatakan ahli memuat penistaan agama. Flora Diyanti adalah ahli yang dihadirkan dalam sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Hal itu diutarakan saat ia diperiksa sebagai ahli di persidangan kasus dugaan penodaan agama dan ujaran kebencian yang dilakukan Yahya, Selasa (14/12) sepeti dilansir dari CNNIndonesia.
Baca Juga:
Kasus Ujaran Kebencian, Yahya Waloni Divonis 5 Bulan Penjara
Mulanya, Jaksa Penuntut Umum (JPU) bertanya kepada Flora apakah pernyataan yang dapat menimbulkan kebencian, disebarkan melalui media seperti YouTube dan didengarkan oleh penganut agama lain bisa disebut sebagai perbuatan pidana.
"Tapi didengarkan oleh agama yang berbeda dengan ada kata-kata penyampaian apakah bisa dikatakan perbuatan pidana? Apakah ahli bisa menjelaskan?" tanya Jaksa di ruang sidang PN Jaksel, Selasa (14/12).
Flora, yang merupakan Akademisi Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI), itu lantas mengatakan bahwa pernyataan Yahya dalam ceramahnya memuat tindakan penodaan terhadap agama.
Baca Juga:
Pengadilan Vonis Yahya Waloni 5 Bulan Penjara Karena Kasus Ujaran Kebencian
"Saya telah mendapatkan keterangan dari agama dan ahli bahasa bahwa dari kasus ini memang adalah penistaan atau penistaan agama... Bahwa unsur kebencian terhadap suatu golongan dan lain-lain," kata Flora.
Setelah itu, Jaksa meminta penjelasan kepada Flora mengenai pertanggungjawaban pidana terkait upaya memplesetkan istilah keagamaan.
"Apakah secara disadari oleh penceramah bahasa yang diplesetkan seperti 'roh kudus' menjadi 'roh kudis', apakah itu menurut dalam keahlian pidana dan bahasa yang disadari oleh seseorang itu mengandung dalam hal pertanggungjawaban pidananya bagaimana?" tanya Jaksa.
Mendengar hal ini, Flora menjelaskan bahwa jika pelaku mengetahui pernyataannya merupakan penistaan terhadap agama lain, yang berarti ia sengaja melontarkan pernyataan tersebut, maka unsur kesengajaan terpenuhi.
"Dia mengetahui bahwa saat itu unsur penghinaan atau penistaan terhadap suatu golongan tertentu maka hal tersebut berarti memenuhi unsur kesengajaan, kebencian," ujarnya.
Dalam sidang yang sama, ahli Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) Universitas Hayam Wuruk Perbanas Surabaya Ronny menyebut Pasal 28 ayat 2 UU ITE mengatur sanksi terhadap penyebaran informasi bermuatan kebencian dan SARA, terutama melalui medium teknologi informasi.
Menurut Ronny, tersebarnya video ceramah Yahya Waloni berpotensi menimbulkan kebencian.
Ronny juga mengutip pendapat ahli bahasa yang mengatakan bahwa ceramah Yahya Waloni bisa menimbulkan kebencian antara individu atau kelompok masyarakat. Ceramah tersebut, kata dia, menyinggung persoalan agama yang merupakan bagian dari SARA.
"Dalam perkara ini setelah memperhatikan keterangan dari ahli agama dan ahli bahasa saya menyimpulkan bahwa ini menyinggung video ini tentang agama," ujar dia.
Sebelumnya, Jaksa Penuntut Umum Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) mendakwa mubalig Muhammad Yahya Waloni telah menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian berdasarkan suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).
Ujaran kebencian itu Yahya sampaikan saat memberikan ceramah di Masjid Jenderal Sudirman WTC, Jakarta Pusat pada 21 Agustus 2019. Ceramah Yahya juga diunggah di kanal Youtube masjid tersebut dan disaksikan banyak orang.
Jaksa mendakwa Yahya dengan Pasal 45A ayat 2 juncto Pasal 28 ayat 2 UU RI No. 19 tahun 2016 tentang perubahan atas UU RI No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik mengenai penyebaran informasi yang menimbulkan kebencian.
Ia juga didakwa dengan Pasal 156 KUHP mengenai pernyataan yang memuat permusuhan dan kebencian terhadap golongan rakyat Indonesia. (tum)