Hal serupa juga diungkapkan Richard, karyawan bank swasta asal Kelapa Gading. Menurutnya, ketersediaan bengkel yang bisa menaungi perawatan motor konversi masih minim.
“Saya pakai motor dan sepeda listrik, so far enjoyable. Sempat ada pikiran buat konversi motor, tapi masih takut,” ucapnya.
Baca Juga:
Pacu Kreativitas Mahasiswa Indonesia, PLN Gelar Kompetisi Membangun Gokart Listrik
Menurutnya, ketersediaan bengkel konversi yang lebih banyak bisa menjadi jaminan bagi konsumen dan menghilangkan kekhawatiran akan perawatan.
Opini lain disampaikan oleh Riko dan Kiki, kakak beradik dengan profesi wirausahawan asal Bekasi. Menurut mereka, konversi motor listrik nampaknya hanya cocok bagi penghobi, bukan masyarakat umum.
"Rasanya (motor konversi) biasa saja. Bukannya jelek, tapi perbedaannya enggak signifikan dengan motor listrik kami di rumah," ucap Kiki.
Baca Juga:
Pacu Kreativitas Mahasiswa Indonesia, PLN Gelar Kompetisi Membangun Gokart Listrik
Keduanya merupakan pengguna EV sejak dulu dan memiliki mobil serta motor listrik. Usai menjajal motor konversi di area test ride PEVS, mereka tidak merasakan adanya perbedaan perfoma.
Selama pameran, kakak beradik ini juga sempat berdialog dengan beberapa bengkel konversi yang menjadi eksibitor. Kesimpulan yang ditarik, total biaya konversi dirasa terlalu mahal bagi mereka, jika menghitung biaya jasa, spare parts, serta harga motor yang dirombak.
"Menurut kami motor konversi cocoknya untuk penghobi atau yang suka restorasi saja. Biayanya mahal, bisa puluhan juta. Kami pilih motor listrik pabrikan saja," ujar dia.