PPPKI.id | Jumlah sampah elektronik secara global meningkat lagi tahun ini.
Sayangnya, sebagian besar tidak mungkin didaur ulang.
Baca Juga:
Hubungan Politik dan Ekonomi Indonesia-China
Salah satu alasannya adalah karena pandemi Covid-19 yang membuat peningkatan ketergantungan pada teknologi untuk kerja atau hiburan di rumah.
Jumlah e-waste yang dibuang diperkirakan mencapai 57,4 juta ton pada 2021, menurut Waste Electrical and Electronic Equipment (WEEE) Forum.
Artinya, ada tambahan 2 juta ton dibandingkan tahun lalu.
Baca Juga:
CIA Datangi Prabowo di AS, Ada Apa di Balik Pertemuan Misterius dengan Presiden Indonesia?
Kalau dibayangkan, maka beratnya kira-kira hampir sama dengan bobot Tembok Besar China, menurut WEEE, meski perkiraan berat Tembok Besar China bervariasi.
Sampah elektronik memiliki beragam kandungan, mulai dari emas dan perak, yang jumlahnya sedikit, hingga kaca dan elemen jarang lainnya.
Tapi, hanya sekitar 17,4 persen yang bisa didaur ulang secara efektif, menurut angka pada 2019.
Itu berbeda dengan persepsi publik bahwa 40-50 persen sampah elektronik didaur ulang, menurut Forum WEEE.
Pekan lalu adalah peringatan Hari Limbah Elektronik Internasional: acara tahunan yang dibuat oleh Forum WEEE untuk meningkatkan kewaspadaan soal sampah elektronik yang semakin meningkat.
Tahun ini, WEEE ingin mendorong daur ulang limbah elektronik rumah tangga, yang sebagian besar tidak terpakai.
"Kami berharap meningkatkan kesadaran di antara warga tentang pentingnya mengembalikan produk elektronik yang tidak lagi berfungsi atau tidak digunakan lagi," kata Pascal Leroy, Direktur Jenderal Forum WEEE.
"Di Eropa, satu dari tujuh peralatan elektronik di rumah tangga berakhir di laci rumah, karena tidak digunakan atau tidak berfungsi," lanjutnya.
"Di Prancis, lima kilogram produk [elektronik] per orang tidak berfungsi [sementara] 17 kilogram jarang digunakan," tandasnya.
Membuat daur ulang sebagai pilihan yang mudah diakses orang menjadi salah satu kunci untuk meningkatkan jumlah limbah elektronik yang didaur ulang, kata Pascal.
“Kenyamanan itu penting, yaitu membuat pengembalian produk listrik ke toko atau fasilitas umum menjadi lebih mudah,” imbuhnya.
Mengapa ada banyak sampah elektronik?
Saat ini, kita memiliki pendekatan linier soal manufaktur, kepemilikan, dan pembuangan.
Saat sebuah perusahaan membuat produk, kita membelinya, lalu kita sendiri yang bertanggung jawab penuh atas produk itu.
Sehingga, setelah sudah tidak dipakai, membuangnya menjadi tanggung jawab masing-masing konsumen.
Seharusnya, produk tersebut didaur ulang, tetapi yang terjadi malah dibuang ke tempat sampah.
Siklus ini memberikan tekanan pada sumber daya Bumi yang terbatas, pada dasarnya tidak berkelanjutan, menurut Lisa McLean, kepala eksekutif kelompok riset dan advokasi nirlaba NSW Circular.
Sebaliknya, kita harus beralih ke ekonomi sirkular, katanya.
Di bawah model sirkular, produsen masih bertanggung jawab atas penanganan akhir masa pakai untuk produk yang mereka ciptakan.
Ketika sebuah produk, apakah itu ketel, mesin cuci, atau bahkan pakaian yang kita kenakan, sudah tidak lagi terpakai, maka akan dikembalikan ke produsen.
Produsen, dengan insentif yang tepat, kemudian ditugaskan untuk memperbaiki barang tersebut, menggunakan kembali bagian-bagian yang masih berfungsi, atau mendaur ulang komponen untuk digunakan kembali.
Mengingat satu ton telepon selular mengandung lebih banyak emas daripada rata-rata satu ton bijih emas, pilihan tadi tidaklah buruk.
Untuk bahan yang tidak dapat didaur ulang, kita harus beralih ke produk yang tidak menggunakan bahan tersebut, kata Lisa.
"Kita perlu mengucapkan selamat tinggal pada produk yang tidak dapat didaur ulang. Plastik tertentu dan produk lain yang tidak dapat didaur ulang harus tidak lagi digunakan," katanya.
Meskipun sudah ada perubahan sistemik yang terjadi di beberapa bagian Eropa menuju ekonomi sirkular, pakar desain industri Miles Park dari UNSW mengatakan masalah limbah elektronik akan menjadi jauh lebih besar jika kita tidak bergerak lebih cepat.
"Banyak produk baru masuk ke aliran limbah dalam jumlah besar, sekarang baterai dan kemudian dalam waktu sekitar 10 tahun, panel surya generasi awal akan mencapai akhir masa pakainya," kata Dr Miles. Seperti dalansir dari WahanaNews.co, Jumat, 22/10/21.
"[Dan] sekarang ada 'microchip' dan antena, yang bisa ditemukan mulai dari sikat gigi elektrik sampai mobil," ujarnya.
PBB memperkirakan limbah elektronik global akan mencapai 74 juta ton per tahun pada 2030. [jef]