Perapki.WahanaNews.co | Pelabelan risiko Bisfenol A (BPA) penting dilakukan, karena dapat melindungi potensi bahaya dari peredaran galon guna ulang di tengah masyarakat.
Hal itu dikatakan Deputi Bidang Pengawasan Pangan Olahan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), Rita Endang.
Baca Juga:
Polda Sulsel Tetapkan Tiga Tersangka Peredaran Kosmetik Berbahaya di Makassar
"Pelabelan ini semata untuk perlindungan kesehatan masyarakat. Jadi tidak ada istilah kerugian ekonomi," kata Rita dalam keterangan tertulis, Sabtu (4/6/2022).
Saat menghadiri webinar bertajuk 'Sudahkah Konsumen Terlindungi dalam Penggunaan AMDK' pada Kamis (2/6), Rita menjelaskan saat ini draft regulasi pelabelan risiko BPA masih dalam proses revisi lanjutan di BPOM.
Dikatakannya aturan tersebut mencakup kewajiban bagi produsen memasang label peringatan potensi bahaya BPA pada galon guna ulang berbahan polikarbonat, yang merupakan jenis plastik yang pembuatannya menggunakan BPA.
Baca Juga:
Awas! 6 Produk Kosmetik Sulsel Terbukti Mengandung Merkuri
"Yang diinginkan BPOM sebatas produsen memasang stiker peringatan. Jadi tidak ada isu tentang sampah plastik sama sekali. Jangan diputarbalikkan," tuturnya.
Adapun hal ini untuk merespon pandangan miring lobi industri air kemasan atas draft peraturan pelabelan risiko BPA. Diketahui, asosiasi industri sempat menilai pelabelan akan memperbesar volume sampah plastik, karena konsumen akan beralih ke kemasan galon sekali pakai yang notabene bebas BPA.
"Urusan sampah itu tanggung jawab masing-masing pelaku usaha, termasuk untuk sampah plastik sekali pakai. Produsennya lah yang bertanggung jawab agar sampah tersebut bisa didaur ulang," terangnya.
Rita juga menampik tudingan pelabelan BPA adalah vonis mati bagi industri air kemasan. Menurutnya, pandangan tersebut keliru karena pelabelan risiko BPA pada dasarnya hanya menyasar produk air galon bermerek alias punya izin edar. Dia menjelaskan sejauh ini pihaknya sudah mengeluarkan sekitar 6.700 izin edar.
"Regulasi pelabelan BPA tidak menyasar industri depot air minum," katanya.
Secara khusus, Rita merinci alasan rancangan regulasi pelabelan BPA menyasar produk galon guna ulang. Dia menyebut saat ini sekitar 50 juta lebih warga Indonesia sehari-harinya mengonsumsi air kemasan bermerek.
Dari total 21 miliar liter produksi industri air kemasan per tahun, 22% di antaranya beredar dalam bentuk galon guna ulang. Dari yang terakhir, 96,4% berupa galon berbahan plastik keras polikarbonat.
"Artinya 96,4% itu mengandung BPA. Hanya 3,6% yang PET (Polietilena tereftalat). Inilah alasan kenapa BPOM memprioritaskan pelabelan risiko BPA pada galon guna ulang," paparnya.
Kendati demikian, Rita menyebut tak tertutup kemungkinan BPOM nantinya akan mengeluarkan regulasi BPA pada kemasan pangan lainnya semisal makanan kaleng. Namun untuk saat ini, pelabelan risiko BPA pada kemasan pangan itu belum diprioritaskan karena peredarannya relatif kecil.
Selain itu, menurut Rita pelabelan BPA juga bertujuan mendorong lahirnya iklim kompetisi yang lebih sehat pada industri air kemasan bermerek. Dengan pelabelan, katanya, industri air kemasan bakal terpacu untuk memasarkan produk dan kemasan air galon yang aman dan bermutu bagi masyarakat.
Dijelaskannya sejumlah negara, seperti Perancis dan Brazil, telah melarang peredaran kemasan pangan berbahan plastik polikarbonat karena potensi bahaya kesehatan yang nyata. "Di Perancis sudah nggak ada lagi lho galon yang mengandung BPA," katanya.
Dia menambahkan pelabelan risiko BPA juga bertujuan mendidik masyarakat sekaligus memenuhi hak konsumen untuk tahu detail produk yang mereka konsumsi. "Keterbukaan pada masyarakat itu melalui label kemasan," katanya.
Tak kalah pentingnya, pelabelan risiko BPA pada galon guna ulang juga diharapkan dapat melindungi pelaku usaha dan pemerintah terhadap potensi tuntutan masyarakat di masa datang. [tum]