PPPKI.id | Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), Joko Supriyono, mengatakan setidaknya ada lima kondisi yang menunjukkan bahwa prospek bisnis kelapa sawit di Indonesia masih sangat besar dan akan terus meningkat.
Pertama, ruang meningkatkan konsumsi di dalam negeri masih besar. Joko menjelaskan, minyak sawit dikonsumsi menjadi tiga kelompok, yaitu bahan makanan, seperti minyak goreng dan makanan olahan lain, kelompok biodiesel dan kelompok bahan baku industri.
Baca Juga:
DJP Kalbar Fokus Maksimalkan Penerimaan Pajak Sektor Perkebunan untuk Meningkatkan Pendapatan Negara
"Minyak sawit merupakan kebutuhan dasar untuk sejumlah bahan makanan, kebutuhan industri dan bahan bakar minyak nabati. Untuk biodiesel, peningkatan konsumsi sangat tergantung kepada dukungan pemerintah. Selama menjadi mandatory, maka selama konsumsi solar naik, konsumsi (Crude Palm Oil) CPO juga akan naik," ujar Joko Supriyono, dilansir detikcom Minggu (6/3/2022).
Kedua, produksi kelapa sawit paling stabil di antara minyak nabati lain, seperti kedelai dan bunga matahari. Dia mengatakan, jika ada kendala produksi di negara produsen minyak nabati, misalnya kedelai di Amerika Serikat atau bunga matahari di Eropa Timur, maka minyak kelapa sawit adalah alternatif yang paling memungkinkan untuk mengisi pasar global.
Ketiga, industri hilir di dalam negeri sedang berkembang. Joko mengatakan, saat ini sebagian besar produksi CPO Indonesia sudah diolah di dalam negeri. Tahun 2020, ekspor CPO hanya sekitar 21% dari total produksi ekspor dalam bentuk minyak mentah.
Baca Juga:
Kemendag Rilis Harga Referensi CPO dan Biji Kakao Per November 2024
Tahun 2019, hanya 20% produksi CPO Indonesia yang dipasarkan ke luar negeri atau sekitar 7 juta ton dari produksi yang mencapai sekitar 35 juta ton. Sisanya, dalam bentuk refined, bleached, deodorized (RBD) fractions, RBD stearin, oleochemical dan biodiesel.
Keempat, Pemerintah mulai gencar merespons kampanye negatif yang diserukan pihak tertentu secara spesifik berdasarkan tema dan pelakunya. Jika ada produk yang menggunakan label non-palm oil atau palm oil free yang beredar di pasar Indonesia, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) akan langsung menyita makanan tersebut karena memang secara regulasi sudah dilarang. GAPKI sendiri, jelasnya, juga agresif melakukan pelaporan jika menemukan ada produk berlabel palm oil free di pasar.
Kelima, potensi kenaikan harga minyak sawit mentah (CPO) dan produk turunannya sangat besar menyusul lahan perkebunan sawit semakin terbatas. Sedangkan permintaan minyak nabati terus meningkat. Semua kondisi ini menunjukkan bahwa prospek bisnis kelapa sawit masih besar untuk jangka panjang.
Faktor cuaca juga mempengaruhi penurunan produksi CPO dalam dua tahun terakhir dan ikut mendorong kenaikan harga. Data Gapki menunjukkan tahun 2020, produksi CPO turun 0,3% dari 47,18 juta ton pada 2019. Produksi CPO Indonesia tahun 2021 mencapai 46,88 juta ton. Angka ini berkurang 0,31% dari produksi tahun 2020 yang mencapai 47,03 juta ton. Sedangkan, produksi tahun 2022 diperkirakan meningkat sebesar 4,52% menjadi 49 juta ton.
Komisaris PT Nusantara Sawit Sejahtera (NSS), Dr Robiyanto, mengatakan besarnya prospek bisnis kelapa sawit di Indonesia mendorong perusahaan perkebunan juga terus meningkatkan kapasitas bisnis. NSS, jelasnya, akan menjawab besarnya prospek bisnis di industri kelapa sawit melalui rencana melepas saham perdana ke publik.
NSS dijadwalkan akan menggelar IPO tahun 2022. NSS akan melepas sebanyak-banyaknya 40 persen saham dari modal yang disetor penuh. Harga penawaran diperkirakan berkisar antara Rp135 - Rp150 per unit saham dan target perolehan dana dari kegiatan penawaran umum saham perdana ke publik sekitar Rp 2 triliun.
"Dana hasil IPO ini akan kami gunakan untuk memampukan NSS dalam memenuhi permintaan pasar yang saat ini belum dapat kami penuhi. Sebagai catatan, pasar yang ada saja di dalam negeri saja, prospeknya masih sangat besar," jelas Robiyanto.
Robiyanto menjelaskan, NSS memiliki basis pelanggan yang sangat kuat seperti Sinarmas, Wings, Musimas, Wilmar dan perusahaan besar lainnya. Pelanggan NSS membayar dengan metode FOB secara cash basis. Besarnya jarak antara permintaan dan produksi, mendorong perusahaan untuk mencari tambahan modal guna meningkatkan kapasitas produksi.
Setelah IPO, NSS menargetkan sudah memiliki lahan plasma seluas 10 ribu ha, sebanyak 3 PKS dengan kapasitas 180 ton per jam dan 2 PKS dengan kapasitas 90 ton per jam dalam lima tahun ke depan atau tahun 2027.
Dengan pengembangan kapasitas bisnis ini, produksi tahunan ditargetkan meningkat menjadi di atas 23 ton per ha/tahun, CPO sebanyak 240 ribu ton dengan OER sebesar 24 persen. Laba bersih perusahaan diperkirakan akan naik menjadi sekitar Rp 937 miliar dalam lima tahun mendatang. [JP]