PPPKI.id | Pemerintah merasa yakin RI tidak akan mengalami krisis listrik seperti negara lain, karena pasokan gas dan batu bara dalam negeri yang begitu berlimpah di dalam negeri.
Selain itu, pemerintah juga telah mengatur penjualan batu bara dan gas untuk kepentingan dalam negeri (Domestic Market Obligation/ DMO).
Baca Juga:
Urgensi Krisis Iklim, ALPERKLINAS Apresiasi Keseriusan Pemerintah Wujudkan Transisi Energi Bersih
Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Rida Mulyana mengatakan, Indonesia patut bersyukur di tengah harga batu bara dan gas yang tengah melonjak "gila-gilaan" saat ini, pemerintah telah mengatur volume dan tarif energi primer batu bara dan gas alam, termasuk Liquefied Natural Gas (LNG)
"Di Inggris itu kan gak diatur volume yang boleh diekspor, kalau di kita kan produksi misal 500-600 juta ton (batu bara), 25% dalam negeri," ungkapnya dalam konferensi pers, Kamis (21/10/2021).
Rida menjelaskan, di tengah harga batu bara yang meroket, bahkan telah di atas US$ 200 per ton, pembatasan harga batu bara di dalam negeri maksimal sebesar US$ 70 per ton juga membantu pemenuhan energi di dalam negeri.
Baca Juga:
Di COP29, PLN Perluas Kolaborasi Pendanaan Wujudkan Target 75 GW Pembangkit EBT 2030
Begitu juga dengan harga gas untuk pembangkit listrik dipatok sebesar US$ 6 per MMBTU. Pembangkit listrik di dalam negeri pun tidak terimbas dengan lonjakan harga batu bara di pasar internasional tersebut.
"Aturan sudah ada, tinggal kawalnya saja, bahwa sejak bulan Juli Pak Menteri kawalnya agar semua ketentuan dipatuhi," ujarnya.
Demi memenuhi kebutuhan dalam negeri, pemerintah bahkan sempat memberikan sanksi berupa pelarangan ekspor kepada 34 perusahaan batu bara.
Hal tersebut dikarenakan 34 perusahaan tersebut tidak memenuhi kewajiban pasokan batu bara sesuai kontrak penjualan dengan PT PLN (Persero) dan atau PT PLN Batubara Periode 1 Januari-31 Juli 2021.
"Misal sempat stop ekspor batu bara karena dikhawatirkan di dalam negeri kurang karena harga lagi meroket semua. Logis dapatkan keuntungan di luar US$ 150 - 200 per ton. Makanya kita sempat larang ekspor," jelasnya. Seperti dilansir dari WahanaNews.co, Sabtu, 23/10/21.
Rida pun menjelaskan skenario pemenuhan kebutuhan listrik, jika bahan bakar batu baranya tidak ada, maka akan diganti dengan gas, dan jika gas tidak ada, maka akan dipenuhi dengan Bahan Bakar Minyak (BBM).
"Logikanya gampang karena makin mahal ke atas. Batu bara lebih murah dari gas, dan gas lebih murah dari BBM. Tapi sekiranya LNG lebih mahal dari BBM, bakar BBM kalau batu bara gak ada," imbuhnya. [jnm]