Perapki.WahanaNews.co | Sekitar 50 keluarga pasien gangguan ginjal akut progresif atipikal (GGAPA) di Indonesia sepakat untuk mengajukan gugatan perwakilan kelompok alias class action ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Mayoritas keluarga pasien berasal dari kawasan Jabodetabek.
Gugatan dengan nomor perkara 711/Pdt.G/2022/PN Jkt.Pst itu didaftarkan pada 22 November 2022. Dalam laman SIPP PN Jakarta Pusat, agenda sidang pertama dijadwalkan dilakukan pada Selasa (13/12) pukul 09.00 WIB.
Baca Juga:
Korban Gagal Ginjal Akibat Obat Sirop Diberi Santunan Kemensos, Muhadjir Serahkan Simbolis
Mereka menggugat sembilan pihak, yakni PT Afi Farma Pharmaceutical Industry, PT Universal Pharmaceutical Industry, PT Tirta Buana Kemindo, CV Mega Integra, PT Logicom Solution, CV Budiarta, PT Megasetia Agung Kimia, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), serta kementerian Kesehatan.
"Hampir 50 korban yang menjalin komunikasi intens dengan kami. Dari mana saja? Terutama Jabodetabek, Jawa Barat, ada juga dari Jawa Timur bahkan dari Bali. Artinya hampir semua korban itu sepakat dengan gerakan bersama," kata Perwakilan Tim Advokasi untuk Kemanusiaan Awan Puryadi di kawasan Jakarta Selatan, Rabu (30/11).
Awan menilai pemerintah harus bertanggung jawab dan memberikan keadilan dan ganti kerugian yang layak bagi para korban. Gugatan itu dianggap penting dilakukan agar menjadi peringatan bagi pemerintah dan industri farmasi obat untuk tidak main-main dengan nyawa manusia.
Baca Juga:
Korban Keracunan Obat Muncul Lagi, Epidemiolog: BPOM Harus Bertindak
Gugatan class action ini juga dilakukan berdasarkan pada penilaian bahwa seharusnya pemerintah bisa mencegah kondisi keracunan obat ini. Selain itu, Awan mengingatkan peristiwa serupa bukan baru pertama kali ini terjadi di dunia.
Tim kuasa hukum mencatat setidaknya sejak 1990 telah terjadi peristiwa keracunan zat etilen glikol (EG) dan Dietilen Glikol (DEG) yang tersebar di berbagai negara.
Di antaranya Nigeria tahun 1990 (40 anak meninggal), Bangladesh tahun 1990-1992 (339 anak meninggal), Argentina tahun 1992 (29 anak meninggal), Haiti tahun 1995-1996 (109 anak meninggal), Panama tahun 2006 (219 meninggal) dan Nigeria tahun 2008 (84 anak meninggal).
"Kami menilai bahwa selain Kemenkes dan BPOM, produsen obat dan pemasok bahan juga harus ikut bertanggung jawab. Itulah mengapa ada sembilan pihak yang menjadi tergugat dalam gugatan ini yang terdiri dari unsur pemerintah dan swasta," kata dia.
Tim Advokasi untuk Kemanusiaan kemudian menuntut ganti rugi untuk para korban senilai sekitar Rp2.050.000.000 per korban meninggal, sedangkan yang dalam masih dalam pengobatan di angka Rp1.030.000.000.
Awan juga meminta agar pemerintah tak menganggap kasus GGAPA di Indonesia telah selesai. Bahkan dalam sebuah kesempatan, menurutnya BPOM justru mencoba lari dari tanggung jawab dan menyatakan ketidaksiapan menghadapi kejadian ini dikarenakan tidak ada standar internasional mengenai pembatasan zat senyawa berbahaya.
"Sejumlah dokumen yang kami miliki justru menunjukkan fakta sebaliknya. Hal ini merupakan salah satu yang kami utarakan dalam gugatan class action," ujar Awan.
Kementerian Kesehatan sebelumnya melaporkan jumlah kasus kematian GGAPA di Indonesia mencapai 200 kasus per Jumat (18/7). Sementara total secara kumulatif berjumlah 324 kasus dari 27 provinsi.
Juru Bicara Kemenkes Mohammad Syahril kemudian mengklaim sepanjang November ini, kasus GGAPA di Indonesia mengalami tren penurunan dan bahkan nihil penambahan kasus konfirmasi baru dalam dua pekan terakhir. [tum]