Perapki.WahanaNews.co | Menurut catatan KontraS, polisi hanya menindaklanjuti kasus-kasus hukum yang viral di masyarakat.
Kepala Divisi Hukum KontraS Andi Muhammad Rezaldy mengatakan hal ini membuat publik jenuh.
Baca Juga:
Kasasi JPU Vonis Bebas Haris-Fatia, KontraS: Langkah Mundur
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) memberikan rapor merah untuk institusi Polri di Hari Bhayangkara yang jatuh pada 1 Juli.
Andi menuturkan kesimpulan bahwa polisi cenderung hanya menangani kasus viral ini didukung berbagai reaksi publik terhadap kinerja Polri.
Pada kurun Oktober-November 2021, misalnya, publik ramai-ramai mengunggah tagar #1Day1Oknum, #NoViralNoJustice, #ViralForJustice, dan #PercumaLaporPolisi.
Baca Juga:
AMIN Teken Pakta Ijtima Ulama, KontraS Pertanyakan Kesesuaian dengan Visi Misi
"Masyarakat yang mengeluhkan kembali buruknya kinerja tersebut, seperti yang tidak ditindaklanjuti laporannya pun akhirnya memilih untuk membuat viral kasusnya," kata Andi dalam konferensi pers di Kantor KontraS, Jakarta Pusat, Kamis (30/6).
Kritik lain disampaikan KontraS terkait gagasan prediktif, responsibilitas, transparansi, serta berkeadilan (Presisi) yang diusung Kapolri Listyo Sigit Prabowo di masa kepemimpinannya.
Wakil Koordinator KontraS Rivanlee Anandar menyebut gagasan Kapolri tak ubahnya menjadi perbaikan palsu.
Sebab, berdasarkan pantauan KontraS, selama setahun terakhir tidak ada realisasi program tersebut. Alih-alih melakukan perbaikan, Korps Bhayangkara dinilai hanya memoles citra semata.
"Hal ini berkonsekuensi pada perbaikan palsu yang menjadi tema utama pada laporan ini. Yang pada intinya kami mau bilang bahwa perubahan yang selama satu tahun belakangan terjadi masih jauh panggang dari pada api," ujar Rivanlee.
Catat 677 Kasus Kekerasan Polisi
KontraS pun memaparkan temuan sepanjang Juli 2021 hingga Juni 2022, ada 677 kasus kekerasan yang dilakukan polisi.
Rivanlee membeberkan, dari 677 kasus kekerasan oleh polisi itu, sebanyak 456 di antaranya dilakukan dengan senjata api.
"Pelanggaran didominasi oleh penggunaan senjata api sebanyak 456 kasus," katanya.
Berdasarkan temuan KontraS, tindak kekerasan kepolisian kerap dilakukan saat menangani unjuk rasa dan kriminalisasi aktivis hak asasi manusia (HAM).
Polisi kerap menggunakan kekuatan yang berlebihan dan tidak terukur. Ruang diskresi aparat juga dinilai terlalu luas.
"Selain itu, kepolisian juga begitu antikritik ditunjukkan dengan penghapusan mural, penangkapan pembentang poster, dan pengejaran pembuat konten," ucap Rivanlee.
Lebih lanjut, Rivanlee menyebutkan deret kasus kekerasan oleh aparat antara lain, penganiayaan 83 kasus, penangkapan sewenang-wenang 47 kasus, dan pembubaran unjuk rasa 43 kasus.
Sebanyak 479 kasus kekerasan tercatat dilakukan Polres, 121 oleh Polsek, dan 77 kasus oleh Polda.
Menurut KontraS, kasus kekerasan oleh polisi dalam setahun ini melonjak dari tahun sebelumnya yang tercatat sebanyak 651 kasus.
Diwawancara terpisah, Karo Penmas Polri Brigjen Ahmad Ramadhan mengungkap Polri menerima penilaian publik dengan tangan terbuka. Ia berjanji akan menjadikan temuan itu sebagai bahan evaluasi bagi institusi.
"Kita berpikir secara positif atau positive thinking, bahwa penilai atau siapapun juga ingin Polri lebih baik. Itu akan kita jadikan evaluasi, kritik-kritik kepada Polri," kata Ramadhan. [tum]