PPPKI.id | Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) memastikan perlindungan data dan perlindungan konsumen merupakan 2 hal krusial pendukung pertumbuhan ekonomi digital.
Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Noor Halimah Anjani mengatakan potensi ekonomi digital Indonesia terancam berjalan di tempat tanpa adanya upaya untuk menjamin kedua hal tersebut.
Baca Juga:
Sandiaga Ajak Generasi Muda Maksimalkan Potensi Ekonomi Digital yang Semakin Luas
“Pertumbuhan ekonomi digital dapat dimaksimalkan lewat adanya upaya yang konkret untuk menjaga kepercayaan konsumen melalui dua aspek perlindungan tadi,” kata Halimah, baru-baru ini.
Halimah mengemukakan, keterlibatan multistakeholders yaitu, pemerintah, pelaku usaha dan civil society diperlukan untuk memastikan regulasi dan kebijakan perlindungan konsumen dapat menjaring masukkan dan perspektif dari segala lini.
Dia menambahkan, perlu adanya koordinasi dan konsolidasi antar lembaga pemerintah dan non-pemerintah dalam menangani perlindungan konsumen.
Baca Juga:
Kemenparekraf-CTM 360 Bahrain Kolaborasi Perkuat Keamanan Ekonomi Digital
Beberapa institusi yang diperlukan keterlibatannya antara lain adalah Kementerian Perdagangan, Kementerian Komunikasi dan Informatika, Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN), Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM), Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK), asosiasi usaha serta pelaku usaha.
Secara ideal, sinergi diperlukan dalam merumuskan interpretasi dan implementasi kebijakan, serta menentukan parameter untuk mengukur kepatuhan pelaku usaha dan literasi konsumen terhadap hak-haknya. Dia melihat yang terjadi saat ini justru konsumen sangat tergantung pada responsible business conduct yang dilakukan oleh pelaku usaha secara mandiri.
Namun, responsible business conduct saja tidak cukup untuk melindungi konsumen karena diperlukan payung hukum sehingga pengertian dan implementasi perlindungan konsumen dan data akan mempunyai indikator atau standar.
“Regulasi yang ada saat ini belum cukup memadai untuk memberikan perlindungan terhadap konsumen dan data mereka. Regulasi yang berlapis dan tersebar di beberapa institusi pemerintah membuat penanganan masalah ini menjadi tersebar dan tidak fokus. Salah satu yang perlu dilakukan adalah mempercepat pembahasan RUU Perlindungan Data Pribadi karena saat ini perlindungan data pribadi tersebar di 32 UU,” ujarnya.
Menurutnya, perlindungan data pribadi merupakan isu yang tidak bisa dilepaskan dari perlindungan konsumen digital secara umum. Di tengah pandemi Covid-19 seperti sekarang ini, banyak kegiatan masyarakat, termasuk kegiatan ekonomi, yang biasanya dilakukan secara konvensional atau bertatap muka langsung, dialihkan ke platform daring.
Lemahnya perlindungan data pribadi di Indonesia dapat dilihat dari beberapa kasus yang terjadi belakangan ini, termasuk kebocoran data konsumen marketplace dan juga kebocoran data pasien Covid-19.
Dia menilai, pengesahan RUU Perlindungan Data Pribadi diharapkan bisa memunculkan awareness terhadap konsumen terhadap perlunya perlindungan data miliknya dan juga mendorong upaya pelaku usaha atau penyedia layanan untuk lebih transparan dalam penggunaan data dan lebih bertanggung jawab terhadap kerahasiaan data yang dimilikinya.
“Disahkannya RUU Perlindungan Data Pribadi, sangat mendesak sebagai salah satu bentuk jaminan perlindungan kepada konsumen,” katanya.
Penyebabnya, penggunaan data pribadi bagi oknum penyedia layanan dagang elektronik (e-commerce) tidak jarang disalahgunakan dan diakses untuk kepentingan di luar transaksi yang dilakukan antara konsumen dengan penyedia platform. [eki]