Perapki.WahanaNews.co | Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Cholil Nafis berpandangan ganja sebagai suatu tumbuh-tumbuhan pada hakikatnya baik apabila digunakan dengan sebenar-benarnya.
Legalisasi ganja untuk kebutuhan medis menuai pro-kontra. Persoalan ini muncul setelah seorang ibu asal DI Yogyakarta menggelar aksi di Bundaran HI Jakarta meminta Mahkamah Konstitusi (MK) segera mengabulkan permohonannya untuk melegalkan ganja bagi kepentingan medis.
Baca Juga:
Pria di Subulussalam Diringkus Polisi, Sembunyikan Ganja di Belakang Rumah
"Pada dasarnya ganja kan dari tumbuh-tumbuhan, tumbuh-tumbuhan itu kalau digunakan dengan sebenarnya itu adalah kebaikan. Hanya saja kadang-kadang ada penyalahgunaan dan penyalahgunaan malah menimbulkan bahaya," kata Cholil dalam acara CNN Indonesia Newsroom, dikutip Rabu (29/6).
Menurut Cholil, ganja perlu dikaji lebih dulu untuk mengetahui bahaya dan potensi memabukkan sebelum diputuskan legalisasinya lewat fatwa. Apabila nanti ditemukan bahwa penggunaan ganja sebagai pengobatan bisa dimitigasi maka MUI akan mengeluarkan fatwa sesuai dengan hasil kajian.
Namun, jika ganja memang ditemukan memberi dampak buruk, maka hukum yang akan dikeluarkan akan berbeda.
Baca Juga:
Sat ResNarkoba Polres Subulussalam Tangkap Seorang Pria Terduga Pelaku Pemilik Narkotika Jenis Ganja
"Ketika secara medis nanti bisa ditemukan pertama untuk pengobatan, kemudian bisa dimitigasi, bisa diminimalisir terjadinya candu, nah disitulah ranahnya kita kan melakukan kajian. Tapi kalau ternyata sebagaimana image (mengenai dampak buruk ganja) itu terjadi sebagaimana nyatanya, tentu kita akan memberikan hukum yang berbeda," ujarnya.
Berbeda dengan MUI yang masih membuka kemungkinan menerima ganja medis, BNN menutup peluang legalisasi ganja tersebut di Indonesia.
Koordinator Tim Ahli Narkotika BNN Komjen Polisi Ahwil Luthan menegaskan ganja, terutama di Indonesia, tidak bisa digunakan maupun diolah untuk kepentingan medis. Sebab ganja di Indonesia memiliki zat tetrahydrocannabinol (THC) yang tinggi, yakni 18 persen.
"Jadi ganja yang bisa diolah menjadi medis itu harus yang tetrahydrocannabinol-nya rendah, sedangkan ganja yang ada di Indonesia ini mempunyai kadar tetrahydrocannabinol-nya di atas 18 persen. Jadi itu tidak bisa diolah menjadi medis," kata Luthan.
Luthan menjelaskan tanaman ganja di Indonesia berbeda dengan yang ada di Thailand maupun negara-negara lain yang telah melegalisasi salah satu jenis narkotika itu. Di Indonesia, kadar THC yang tinggi menyebabkan tanaman itu sangat sulit untuk diolah.
Temuan kandungan zat THC itu disebut berdasarkan hasil riset Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Litbangkes) Kementerian Kesehatan.
"Dan penelitian itu bukannya baru sekarang ada. Dari jaman dulu sudah ada. Jadi penelitian semua tanaman-tanaman termasuk jamu-jamu semua diteliti di sana," ujar dia.
Sementara itu, terkait hal ini, pemerintah menyatakan bakal mempelajari legalitas ganja untuk tujuan medis. Kabag Humas Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) Tubagus Erif Faturahman mengatakan tidak menutup kemungkinan pemerintah mengubah peraturan yang berlaku saat ini.
"Pemerintah akan mempelajari terlebih dahulu mengenai legalitas ganja untuk tujuan medis," ujar Erif melalui pesan tertulis, Selasa (28/6).
Ia berujar pemerintah akan melihat baik-buruk ganja dengan cara meminta pendapat atau pandangan para ahli dari berbagai disiplin ilmu seperti kesehatan, sosial, agama, dan lainnya.
"Kalau memang positifnya lebih banyak, pasti pemerintah akan melegalkan ganja untuk medis. Itu pun dengan mekanisme dan pengaturan ketat untuk menghindari penyalahgunaan," terang Erif. [tum]