PPPKI.id | Pemerintah berencana menaikkan cukai rokok tahun 2022. Kepala Sub Bidang Cukai Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Sarno mengakui salah satu kelemahan kebijakan cukai di Indonesia, yakni soal struktur cukainya.
"Tetapi memang secara perlahan kita lakukan penyederhanaan sehingga tahun ini sudah 10 tier, dan dalam RPJMN 2019-2024 juga sudah ada arahan untuk kenaikan cukai dan simplifikasi," katanya
Baca Juga:
Lebih Baik Stop Merokok, Tahun Depan Harganya Bakal Lebih Mahal!
Center for Indonesia's Strategic Development Initiatives (CISDI) merilis hasil riset yang memuat dampak makroekonomi cukai hasil tembakau (CHT) di Indonesia. Kali ini CISDI tidak hanya menyoroti dari sisi kesehatan untuk pengendalian konsumsi, namun juga dampak ekonomi dari kebijakan cukai yang belum optimal.
Penasihat Riset CISDI Teguh Dartanto mengatakan bahwa saat ini kenaikan jumlah perokok anak sangat tajam.
"Ini disebabkan keterjangkauan harga rokok karena cukai yang belum optimal atau belum sesuai dari yang diharapkan," katanya dalam acara Diseminasi Riset Dampak Makroekonomi Cukai Rokok di Indonesia, yang diselenggarakan oleh CISDI secara virtual, (22/10/2021).
Baca Juga:
Naikkan Tarif Cukai Rokok Tanpa Persetujuan DPR, Sri Mulyani: Saya Minta Maaf
Selama ini, wacana kenaikan cukai rokok selalu memicu pro dan kontra. Mereka yang menentang beralasan bahwa kenaikan cukai rokok akan berdampak negatif pada ekonomi. Dalam riset ini, dilakukan simulasi dari beberapa skenario analisis yakni simulasi kenaikan cukai.
"Temuannya adalah, konsumsi rokok itu akan menurun jika ada kenaikan cukai, dan terjadi kenaikan penerimaan negara ketika cukai dinaikkan sehingga dampaknya terhadap ekonomi itu positif," ujarnya.
Profesor Ekonomi Kesehatan University of Illinois (UIC) Chicago Jeffrey Drope mengatakan perubahan harga rokok dan struktur cukai merupakan hal yang penting untuk berlaku di Indonesia.
"WHO mengatakan meningkatkan harga merupakan cara yang paling efektif untuk pengendalian konsumsi tembakau. Selain itu, keterjangkauan rokok juga harus diperhatikan," katanya.
Drope juga menyoroti tentang struktur tarif cukai di Indonesia yang masih rumit. Berdasarkan skor dari Tobacconomics, kata dia, Indonesia memiliki nilai terendah karena masih menggunakan sistem cukai berlapis.
"Sistem tier ini membuka peluang bagi industri tembakau untuk terus melakukan ekspansi. Sementara itu, sistem non-tier terbukti membuat pengendalian tembakau lebih optimal," ujarnya. [jnm]