Perapki.WahanaNews.co | Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri menyebutkan lembaga filantropi Aksi Cepat Tanggap (ACT) meminta keluarga ahli waris korban kecelakaan pesawat Lion Air JT-610 untuk menunjuknya sebagai pengelola dana kompensasi.
Dalam hal ini, pihak Boeing memberikan total dana sebesar Rp 138 miliar untuk disalurkan kepada para ahli waris korban. Namun, dana itu diduga diselewengkan oleh para petinggi ACT untuk kepentingan pribadi.
Baca Juga:
Ini Tujuan ACT Alirkan Dana Rp 10 Miliar ke Koperasi Syariah 212
"Pasca kejadian kecelakaan tersebut, para ahli waris korban dihubungi oleh pihak yang mengaku dari yayasan ACT meminta untuk memberikan rekomendasi kepada pihak Boeing untuk penggunaan dana CSR tersebut dikelola oleh pihak yayasan ACT," kata Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karopenmas) Polri Brigjen Ahmad Ramadhan kepada wartawan, Sabtu (9/7).
Menurut Ahmad, penunjukan lembaga atau yayasan bertaraf internasional untuk mengelola dana tersebut merupakan syarat yang diberikan oleh Boeing.
Atas hal tersebut kemudian Boeing menunjuk ACT sebagai pengelola dana sosial. Semula, dana diperuntukkan untuk membangun fasilitas pendidikan sesuai dengan rekomendasi para ahli waris korban.
Baca Juga:
Presiden ACT Ahyudin, Dulu Digaji Rp 100 Juta Sekarang Kena Pasal Berlapis
Sebagai kompensasi tragedi kecelakaan, Boeing memberikan dua santunan, yakni uang tunai kepada para ahli waris masing-masing sebesar US$144.500 atau sebesar Rp2,06 miliar, dan bantuan non tunai dalam bentuk CSR.
"Setelah pihak Boeing menunjuk yayasan ACT untuk mengelola dana CSR tersebut, pihak yayasan ACT tidak memberitahukan realisasi jumlah dana sosial yang diterimanya dari pihak Boeing kepada ahli waris korban," ucap Ramadhan.
Polisi pun menduga bahwa Presiden ACT yang kala itu menjabat, Ahyudin dan Ibnu Khajar tidak menggunakan seluruh dana sosial yang diterima dari Boeing.
Sebagian dana itu, kata dia, digunakan untuk kepentingan pembayaran gaji ketua, pengurus, pembina serta staf pada ACT. Selain itu, terdapat juga fasilitas untuk kepentingan pribadi Ahyudin yang berasal dari penggunaan uang tersebut.
Dalam mengusut kasus ini, polisi mendalami Pasal 372 jo 372 KUHP dan/atau Pasal 45A ayat (1) jo Pasal 28 ayat (1) Undang-undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan/atau Pasal 70 ayat (1) dan ayat (2) jo Pasal 5 Undang-undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Yayasan dan/atau Pasal 3, Pasal 4 dan Pasal 5 Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU.
Ramadhan menyebutkan bahwa perkara ini masih dalam tahap penyelidikan. Serangkaian proses pemeriksaan dan pendalaman masih dilakukan pihaknya. [tum]