Karenanya kata Reza, perlu dicek, kapan pelecehan dan penghinaan itu yang dituding pelaku dilakukan oleh korban.
"Jika jarak waktunya jauh, maka agak sulit meyakinkan hakim dengan klaim guncangan jiwa nan hebat itu," kata dia.
Baca Juga:
Pakar Minta Polisi Bedakan Bullying dan Ragging
Reza menjelaskan klaim tersebut bersinonim dengan extreme emotional disturbance defense (EEDD) atau pertahanan dari gangguan emosional yang ekstrem.
"Syarat agar EEDD itu bisa dikabulkan hakim adalah, pertama, aksi pelaku sepenuhnya karena dipantik oleh faktor eksternal yang dilancarkan oleh orang yang kemudian dihabisi. Kedua, tidak ada jarak waktu atau pun sangat singkat jarak waktu antara peristiwa yang memprovokasi, seperti hinaan, pencabulan, dengan aksi pembunuhan," papar Reza.
Di beberapa yuridiksi, kata Reza, kalau terdakwa berhasilkan meyakinkan persidangan, maka yang bersangkutan divonis bersalah karena melakukan penganiayaan yang mengakibatkan korban meninggal dunia (manslaughter).
Baca Juga:
Masuk Akpol, Pakar Sarankan Anak Ferdy Sambo Bayar Jasa Kak Seto
"Dan bukan karena melakukan pembunuhan atau murder," ujarnya.
"Lantas, mengapa harus sampai memutilasi?," kata Reza.
"Apakah itu episode berikutnya dari ekspresi amarah yang tidak mereda hanya dengan menghabisi korban atau emosional? Ataukah itu cara untuk menghilangkan barang bukti (instrumental)?," tambahnya.