Wahanaadvokat.com | Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) diharapakan mengarusutamakan pidana non penjara.
Hal ini diungkapakan Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) berharap, demi mengurangi kelebihan kapasitas (overcrowding) di lembaga permasyarakatan (lapas) dan rumah tahanan (rutan).
Baca Juga:
Aliansi Akademisi Indonesia Ajukan Diri Sebagai Sahabat Pengadilan untuk Bela Bharada E
“Saat ini, masih 66 persen ancaman pidana RKUHP diancam dengan pidana penjara, masih ada muatan overkriminalisasi (pemidanaan yang berlebihan), karena tindak pidana tanpa korban (victimless crime), pidana yang menyerang ruang privat dan ekspresi warga negara tidak seharusnya diatur dengan pendekatan penjara,” kata Direktur Eksekutif ICJR Erasmus Napitupulu dalam siaran tertulisnya yang diterima di Jakarta, Minggu.
Menurut dia, upaya menjadikan pidana non penjara sebagai arus utama dapat dilakukan oleh DPR bersama pemerintah saat membahas RKUHP.
Di samping itu, ICJR juga mendorong pemerintah dan DPR merevisi KUHAP sehingga dapat menjamin adanya mekanisme kontrol dan pembatasan kewenangan penahanan oleh aparat penegak hukum.
Baca Juga:
Vonis Mati Herry Wirawan: Erasmus Napitupulu Sebut Negara Gagal Lindungi Korban
“Penahanan harus diputuskan oleh hakim bukan aparat penegak hukum. Berikutnya, perbanyak alternatif penahanan non lembaga seperti tahanan kota dan rumah, serta efektifkan penangguhan penahanan,” sebut Erasmus.
Kelebihan kapasitas rutan dan lapas, menurut ICJR, merupakan masalah yang telah cukup lama disuarakan tetapi belum banyak langkah yang dilakukan untuk memperbaiki problem itu.
“Pemerintah dalam kurun waktu 7 tahun ini memiliki banyak momentum untuk berbenah, mulai dari terjadinya pandemi Covid-19 sampai kebakaran Lapas Kelas I Tangerang yang mengakibatkan 48 warga binaan meninggal dunia,” kata Direktur Eksekutif ICJR.
ICJR melaporkan jumlah penghuni rutan dan lapas di Indonesia telah melampaui kapasitas setidaknya sejak Maret 2020 yaitu pada awal pandemi.
Per 30 Maret 2020, jumlah tahanan mencapai 270.721 orang, sementara kapasitas rutan dan lapas hanya mencapai 131.931 orang.
Beban rutan dan lapas saat awal pandemi itu mencapai 205 persen.
Kemudian, pemerintah mengeluarkan kebijakan percepatan asimilasi di rumah, sehingga pada Agustus 2020 beban rutan dan lapas berkurang jadi 175 persen.
Namun, angka itu kembali naik pada 2021. Per Juni 2021, jumlah penghuni rutan dan lapas sebanyak 271.992 sehingga bebannya mencapai 200 persen.
“Hingga saat ini Januari 2022, beban rutan dan lapas mencapai 223 persen,” kata ICJR dalam siaran tertulisnya.
Sejauh ini, mayoritas penghuni rutan dan lapas merupakan narapidana narkotika.
Oleh karena itu, ICJR mendesak adanya revisi Undang-Undang Narkotika sehingga pidana penjara tidak lagi jadi opsi utama penegak hukum saat menjatuhkan sanksi bagi penyalahguna narkotika.
ICJR juga mendorong penanganan terhadap penyalahguna narkotika menggunakan pendekatan kesehatan, yang asesmennya tidak diberikan kepada polisi dan BNN, tetapi kepada lembaga kesehatan.
“Indonesia memiliki Puskesmas sebagai sistem yang sudah mapan (untuk menjalankan asesmen rehabilitasi, Red.),” sebut Erasmus. [tum]