Apalagi tuntutan mati diatur dalam Pasal 2 ayat 2 UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Menurut hakim, Pasal 2 ayat 2 UU Tipikor menjelaskan keadaan tertentu, saat pidana mati dapat dijatuhkan adalah sebagai pemberatan bagi tindak pidana korupsi ketika negara dalam keadaan bahaya sebagaimana undang-undang yang berlaku, yaitu pada waktu bencana alam nasional, pengulangan tindak pidana korupsi, waktu negara dalam krisis ekonomi, dan moneter.
Baca Juga:
Kasus Jiwasraya, Kejagung Sita Aset Tambang Heru Hidayat
"Tuntutan hukuman mati sifatnya fakultatif, artinya pilihan tidak ada keharusan untuk menjatuhkan hukuman mati," tambah hakim Ali.
Heru Hidayat sendiri telah dijatuhi hukuman seumur hidup dalam perkara tindak pidana korupsi PT Asuransi Jiwasraya yang merugikan negara senilai Rp 16,807 triliun.
Berdasarkan keputusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 26 Oktober 2020 dan dikuatkan dengan putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta dan Mahkamah Agung yang telah berkekuatan hukum tetap.
Baca Juga:
Kasus Jiwasraya: Lahan Tambang, hingga Aset Pelabuhan Heru Hidayat Disita
"Terdakwa telah menjalani sebagian atau baru dalam tindak pidana korupsi Jiwasraya yang sudah berkekuatan hukum tetap tersebut,”
“Tindak pidana korupsi PT Jiwasraya berbarengan dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan terdakwa dalam perkara PT Asabri Persero sehingga lebih tepat dikategorikan 'concursus realis' atau 'meerdaadse samenloop', bukan sebagai pengulangan tindak pidana," ungkap hakim.
Namun majelis hakim sepakat dengan JPU bahwa Heru Hidayat terbukti secara sah dan meyakinkan dalam dakwaan kesatu primer dan dakwaan kedua primer, yaitu Pasal 2 ayat (1) Jo Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP dan Pasal 3 UU RI Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.