WahanaAdvokat.com | Permohonan kasasi Inspektur Jenderal Polisi Napoleon Bonaparte terkait perkara suap penghapusan daftar pencarian orang atas nama terpidana cessie Bank Bali, Joko S Tjandra, ditolak Mahkamah Agung.
Kuasa hukum Napoleon menyebut, kliennya sedang mempertimbangkan upaya hukum luar biasa berupa peninjauan kembali.
Baca Juga:
Daftar 6 Jenderal Polisi yang Dipenjara, Terbaru ada Irjen Teddy Minahasa
Kuasa hukum Napoleon, Ahmad Yani, ketika dihubungi wartawan dari Jakarta, Kamis (11/11/2021), mengatakan, ia dan kliennya telah mengetahui informasi mengenai penolakan permohonan kasasi dalam perkara suap penghapusan daftar pencarian orang (DPO) atas nama Joko Tjandra.
Namun, hingga saat ini, pihaknya belum menerima salinan putusan ataupun petikan putusan tersebut.
Menurut Ahmad, Napoleon tetap bersikap tenang ketika mendengar putusan MA yang menolak kasasinya.
Baca Juga:
Lumuri M Kace dengan Tinja, Irjen Napoleon Bonaparte Divonis 5,5 Bulan
Sebab, hal itu telah diperkirakan sebelumnya.
Putusan tersebut juga dinilai sebagai bentuk ketidakadilan, karena ada terpidana lain yang vonisnya dikurangi di tingkat banding ataupun kasasi.
Dalam perkara yang berbeda, tetapi masih terkait dengan pelarian terpidana cessie Bank Bali, Joko Tjandra, terdakwa lain, yakni jaksa Pinangki Sirna Malasari, mendapatkan pengurangan hukuman dari 10 tahun menjadi 4 tahun penjara di tingkat banding.
Joko Tjandra juga mendapatkan pengurangan hukuman dari 4 tahun 6 bulan menjadi 3 tahun 6 bulan penjara di tingkat banding.
Adapun dalam perkara penghapusan nama Joko dari DPO, Napoleon divonis 4 tahun penjara.
Majelis hakim menilai, Napoleon terbukti menerima uang 370.000 dollar AS dan 200.000 dollar Singapura atau sekitar Rp 7,2 miliar dari Joko Tjandra melalui Tommy Sumardi.
Pemberian tersebut dimaksudkan agar Napoleon memberikan informasi mengenai status red notice Joko Tjandra di NCB Interpol Indonesia dan menyurati Direktur Jenderal Imigrasi agar nama Joko Tjandra dihapus dari DPO dalam sistem keimigrasian.
”Menurut kami ada ketidakadilan di situ. Sebab, argumentasi kami dalam mengajukan kasasi itu cukup jelas, dengan memperlihatkan fakta-fakta persidangan. Bahkan, kami lampirkan semua rekaman percakapan,” kata Ahmad.
Menurut dia, salinan putusan MA itu masih dinantikan karena di dalamnya tertuang argumentasi majelis hakim.
Pihaknya akan mempelajarinya terlebih dahulu untuk kemudian menentukan sikap dan langkah berikutnya.
Tidak tertutup kemungkinan nantinya Napoleon akan mengajukan upaya hukum luar biasa berupa peninjauan kembali (PK).
”Kami berharap akan mengajukan upaya hukum luar biasa berupa permohonan peninjauan kembali. Sebab, Pak Napoleon sejak awal tidak menerima hukuman seberapa pun besar atau kecilnya hukuman itu,” ujar Ahmad.
Secara terpisah, Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri, Brigadir Jenderal (Pol) Rusdi Hartono, ketika dikonfirmasi mengenai putusan MA yang menolak kasasi Napoleon sehingga putusan berkekuatan hukum tetap, mengatakan, saat ini Divisi Profesi dan Pengamanan Polri masih mempersiapkan sidang komisi etik profesi terhadap Napoleon.
Rusdi berjanji akan menyampaikan perkembangan berikut mengenai hal tersebut.
Sementara itu, Ketua Indonesia Police Watch, Sugeng Teguh Santoso, berpandangan, kasus yang menyeret perwira tinggi Polri tersebut merupakan kerugian bagi Polri dan negara.
Sebagaimana diketahui, selain Napoleon, kasus terkait Joko Tjandra juga menyeret Brigjen (Pol) Prasetijo Utomo.
Kerugian tersebut disebabkan proses pendidikan dan pembinaan yang panjang dengan biaya yang besar dari negara menjadi sia-sia.
”Maka, ini harus jadi perhatian pimpinan Polri dalam hal promosi dan kenaikan pangkat tidak boleh sembarangan. Pemberian rekomendasi untuk kenaikan pangkat ataupun jabatan sungguh-sungguh memperhatikan rekam jejak, melihat kinerja, juga menerima masukan dari masyarakat,” katanya.
Selain itu, lanjut Sugeng, keterlibatan dua perwira tinggi dalam kasus yang terkait dengan pengusaha besar seperti Joko Tjandra mesti dilihat dalam perspektif lebih luas, yakni kedekatan pejabat kepolisian dengan para pengusaha.
Sebab, sudah menjadi pengetahuan umum bahwa banyak pejabat di Polri yang dekat dengan pengusaha besar.
Menurut Sugeng, kedekatan itu tidak salah sejauh polisi tetap bersikap dan bertindak profesional dalam menjalankan tugas.
Hal itu diwujudkan dengan tidak menyalahgunakan kewenangan yang dimilikinya untuk membantu mereka.
Namun, katanya, yang kerap terjadi, polisi justru tampak memihak pengusaha ketika berhadapan dengan kepentingan masyarakat.
”Ini peringatan yang sebenarnya sudah lama ada dan akan muncul atau mencuat ketika Polri masuk dalam konflik terkait sumber daya alam yang mana masyarakat akan berhadapan dengan Polri. Maka, janji bahwa hukum tajam ke atas dan ke bawah harus dibuktikan,” kata Sugeng. [dny]