Wahanaadvokat.com I Terkait dengan tuntutan keluarga korban santriwati yang meminta pelaku pelecehan seksual Herry Wirawan dihukum mati, Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) Jawa Barat, Asep Mulyana, angkat bicara.
Asep mengatakan, tuntutan akan mengacu kepada fakta persidangan yang muncul.
Baca Juga:
Danramil 420-04/Sarolangun Hadiri Rapat Pleno Terbuka Tingkat Kecamatan Sarolangun
"Nanti kita lihat (hukuman mati), saya gak berani berandai-andai. Nanti fakta di persidangan seperti apa," ujarnya seusai mengikuti sidang lanjutan kasus pelecehan seksual dengan pelaku Herry Wirawan di PN Bandung, Selasa (21/12).
Termasuk tuntutan yang diinginkan keluarga korban diantaranya hukuman kebiri. Pihaknya saat ini fokus melakukan pemeriksaan terhadap pelaku Herry Wirawan. "Nanti kita lihat," katanya.
Asep mengatakan, persidangan saat ini dilakukan secara hybrid yaitu pemeriksaan saksi secara online maupun offline.
Baca Juga:
76 Tokoh Adat Hamparan Rawang Sepakat Menangkan Alfin-Azhar Sebagai Walikota dan Wakil Walikota Sungai Penuh Periode 2024-2029
Kesaksian para saksi mendukung dan membuktikan terjadi tindak pidana pelecehan seksual.
"Kami juga memeriksa saksi-saksi, ada dua saksi yang hadir, satu hadir fisik dan satu hadir memberikan keterangan melalui video conference. Dari keterangan tersebut pada intinya mendukung pembuktian ada dugaan tindak pidana yang dilakukan HW dalam pengelolaan pesantren dan tempat pendidikan," katanya.
Asep mengatakan pelaku melanggar undang-undang perlindungan anak. Selain itu, pihaknya juga menanyakan terkait dengan penggunaan dana bantuan sosial serta metode pembelajaran, mekanisme pembelajaran dan kurikulum serta evaluasi pembelajaran.
"Ada beberapa dalam bentuk program Indonesia Pintar dan lainnya. Yang bersangkutan mengajukan atas nama anak-anak kemudian menerima bansos dan ditarik untuk digunakan kepentingan bersangkutan," katanya.
Total saksi anak yang telah diperiksa sebanyak 18 orang. Mereka adalah saksi yang melihat, mengalami langsung dan saksi pendukung yang mendapat cerita atau kejadian tersebut.
"Sekarang kurang lebih 18 saksi anak. Mereka yang pertama klaster mengalami langsung, melihat langsung, mendengar peristiwa itu dan ada pendukung yang hanya mendapat cerita atau mengetahui kejadian-kejadian atau fakta perbuatan dalam proses pengelolaan dan pembelajaran," jelasnya. (tum)