Wahanaadvokat.com I Soal kasus pembunuhan aktivis HAM Munir, Komite Aksi Solidaritas untuk Munir (KASUM) meminta Kejaksaan Agung (Kejagung) tidak melihat kasus tersebut ebagai pembunuhan biasa.
Perwakilan Kasum, Teo Reffelsen menilai cara pandang tersebut perlu dimiliki Kejagung apabila serius ingin menindaklanjuti kasus tersebut.
Baca Juga:
PDIP Minta DPR dan Presiden untuk Tetapkan Kasus Kudatuli Jadi HAM Berat
Menurutnya, hal tersebut penting agar aktor intelektual yang terlibat dalam pembunuhan Munir dapat benar-benar terungkap.
Terlebih fakta-fakta dalam persidangan dan hasil temuan Tim Pencari Fakta (TPF) sebelumnya menunjukkan adanya keterlibatan negara dalam kasus ini.
"Jadi sebenarnya Kejaksaan tidak boleh berkelit dengan dalih tidak bisa melakukan upaya hukum atas dasar alasan yuridis normatif," ujarnya kepada wartawan di kompleks Kejagung, Jakarta Selatan, Kamis (9/12) dilansir dari CNN Indonesia.
Baca Juga:
Drone Emprit Ingatkan Ikut Sebar Data Bjorka Bisa Kena Pidana
Oleh sebab itu, Kasum berharap Kejagung tidak lagi menggunakan pendekatan penegakan hukum yang bersifat formil semata.
Teo lantas mendorong agar Kejaksaan dapat mencari celah-celah hukum yang memungkinkan untuk dilakukannya Peninjauan Kembali (PK) dalam kasus pembunuhan Munir.
Apalagi dalam Undang-undang (UU) Kejaksaan yang baru Jaksa sudah diberikan kewenangan untuk kembali mengajukan PK. Karenanya ia menilai dalih Kejagung yang tidak mau mengajukan PK karena ada putusan MK menjadi kontraproduktif.
"Kalo memang di UU Kejaksaan ada Hak PK, ya sekalian tunjukkan dengan mengajukan PK terhadap Muchdi Pr. Untuk membuktikan bahwa dalam kasus tertentu Jaksa butuh PK," tegasnya.
Pasalnya Kasum menilai pemerintah wajib mengungkap aktor-aktor intelektual dalam kasus tersebut sebagai tanggung jawab kepada publik dan juga hukum. Serta sebagai langkah pemenuhan hak-hak asasi manusia bagi korban.
"Tentunya untuk memastikan agar tidak ada lagi pelanggaran HAM ke depannya. Makanya kami berharap Jaksa mempertimbangkan berkas yang kami berikan tadi untuk melakukan upaya hukum," tuturnya.
Sebelumnya, Kasum bersama dengan Suciwati yang merupakan istri mendiang Munir menyerahkan sejumlah bukti baru terkait kasus pembunuhan aktivis HAM Munir Said Thalib kepada Kejagung.
Salah satu bukti yang diberikan terkait putusan Komisi Informasi Pusat (KIP) yang dikeluarkan pada 2012. Ia menjelaskan, saat itu KASUM sudah mengajukan gugatan atas putusan tersebut ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
Gugatan itu terkait surat pengangkatan Pollycarpus Budihari Priyanto, mantan terpidana pembunuhan Munir, oleh Badan Intelijen Negara (BIN). Selain itu juga terkait surat tugas Muchdi PR, mantan Deputi V BI, yang menurut Suciwati, Muchdi mengaku memang ditugaskan BIN ke Kuala Lumpur, Malaysia.
Sebagai informasi, 17 tahun lalu, tepatnya pada 7 September 2004, Munir dibunuh dengan racun arsenik dalam penerbangan ke Amsterdam, Belanda.
Sejumlah orang sudah diproses hukum, termasuk mendiang Pollycarpus Budihari Prijanto. Namun banyak pihak yang menilai pengusutan kasus belum tuntas lantaran aktor intelektual belum diproses. Misalnya, mantan Kepala BIN, AM Hendropriyono.
Sementara saat ini, kasus pembunuhan Munir yang terjadi pada 2004 silam terancam kedaluwarsa. Sebab berdasarkan Pasal 78 ayat (1) butir 3 KUHP, penuntutan pidana hapus setelah 18 tahun untuk kejahatan yang diancam pidana mati atau seumur hidup, seperti pembunuhan berencana.
Pada 7 September 2021, Suciwati ditemani sejumlah pihak kembali mendesak pembunuhan Munir itu menjadi kasus HAM berat agar pengusutannya tak mengenal masa kedaluwarsa.
Berdasarkan hal itu, Komnas HAM pun membentuk tim pemantauan dan penyelidikan. Tim itu diketuai oleh Komisioner Beka Ulung Hapsara dengan anggota M Choirul Anam dan Sandrayati Moniaga. (tum)