Advokat.WahanaNews.co | Hari ini, Sabtu (25/6/2022) sbanyak 1.326 peserta di antaranya penyintas Covid-19 mengikuti Ujian Profesi Advokat (UPA) yang digelar Perhimpinan Advokat Indonesia (Peradi) di Universitas Tarumanagara (Untar).
Ketua Harian DPN Peradi, R. Dwiyanto Prihartono, menyampaikan, ujian UPA kali ini unik karena dikhususkan bagi peserta yang sudah mendaftar dan membayar biaya namun terpaksa tidak bisa mengikuti ujian pada Februari lalu karena terpapar Covid-19.
Baca Juga:
DPC Peradi Bandung Gelar Berbagi Takjil dan Buka Puasa Bersama 100 Anak Yatim
“Mereka kita persilakan ujian bebas biaya. Oleh Peradi diberikan kesempatan itu, yang sudah sembuh dari Covid saat ini bisa mengikuti ujian,” katanya, seperti dilansir dari gatra.com
Keunikan lainnya, lanjut advokat senior yang karib disapa Dwi tersebut, hanya digelar di Jakarta. Ini berbeda dengan penyelenggaraan reguler yang dihelat di puluhan kota di Tanah Air. Terakhir, di 51 kota. Penyelenggaraannya tetap menerapkan protokol kesehatan secara ketat, di antaranya wajib swab antigen dengan hasil negatif Covid-19.
“Jumlahnya sekarang 1.326 peserta, khusus hanya diadakan di Jakarta, untuk yang daerah-daerah kita pikirkan kemudian, yang penting kita berbuat dahulu agar Peradi memfasilitasi orang-orang yang sakit untuk bisa ujian, yang ingin menjadi advokat bisa terlaksana keinginannya,” ujar dia.
Baca Juga:
DPC PERADI Kabupaten Bogor 2024-2028 Dilantik Luhut M.P. Pangaribuan
Adapun materi ujiannya, kata Dwi, merujuk pada kurikulum yang telah ditentukan, di antaranya bagaimana membuat surat kuasa yang baik. Ini menjadi ruhnya advokat. Kemudian, soal membuat surat gugatan dan hal-hal menyangkut praktik hukum acara pidana, perdata, agama, dan PTUN.
“Itu semua diuji, tetapi untuk orang rajin belajar, pernah baca seharusnya bisa menjawab dengan mudah. Contohnya, kalau orang ditahan polisi berapa lama 20 hari, itu kan sudah standar. Harapannya mereka sudah baca sehingga soal-soal itu bisa dijawab dan mereka bisa lulus,” katanya.
Dwi mengungkapkan, tantangan yang dihadapi advokat sekarang adalah persaingan dengan advokat inernasional dan Indonesia. Persaingan advokat di dalam negeri, menurutnya kurang sehat karena banyak orang yang mengaku-ngaku advokat. Ini akibat diberlakukannya SK Ketua Mahkamah Agung (MA) Nomor 73/KMA/HK.01/IX/2015.
“Kurang sehat akibat disaster atau kecelakaan putusan negara yang membuat banyak bermunculan orang yang merasa advokat. Kalimat saya kejam, merasa dirinya advokat karena disumpah oleh Pengadilan Tinggi,” katanya.
Padahal, lanjut dia, mereka yang disumpah itu bukan hasil dari proses yang dilahirkan Peradi selaku wadah tunggal organisasi advokat yang diberi kewenangan mengangkat calon advokat.
“Diproduksi oleh lembaga yang tidak bisa mengangkat advokat. Hanya Peradi yang bisa mengangkat advokat. Di situasi sekarang, di luar Peradi bisa mengajukan sumpah advokat di PT [Pengadilan Tinggi],” katanya.
Munculnya orang-orang yang mengaku advokat tersebut tidak melalui proses standar yang telah ditentukan. Ini berbeda dengan proses di Peradi yang menerapkan standar ketat untuk menjamin kualitas advokat. Penyelengaraannya pun melibatkan pihak ketiga sehingga betul-betul independen. “Enggak bisa kita ikut campur,” ujarnya tegas.
Sedangkan ketika wartawan menanyakan soal beberapa institusi pemerintah, di antaranya lembaga penegak hukum telah meneken Nota Kesepahaman dan Pedoman Kerja Bersama Sistem Peradilan Pidana Terpadu Berbasis Teknologi Informasi (SPPT-TI) 2022, Dwi menyampaikan, piaknya mendukung langkah tersebut.
Menurutnya, Peradi menyambut baik karena ini merupakan langkah penting. Ini akan mengurangi atau memangkas birokrasi dan pertemuan yang tak jarang menjadi hal yang kurang baik karena “hubungan dekat” menjadi keberhasilan dan menentukan dalam suatu perkara.
“Sistem elektronik itulah yang akan memangkas. Mudah-mudahan dalam waktu dekat kita bisa diajak [sosialiasi],” katanya. [tum]