Konsumen.WahanaNews.co | Pemerintah harus lebih banyak menggelontorkan insentif atau subsidi bagi masyarakat yang ingin membeli rumah di tengah lonjakan inflasi.
Hal itu dikatakan pengamat Properti Anton Sitorus. Menurutnya, hanya dengan insentif atau subsidi, harga rumah akan lebih murah. Dengan demikian, masyarakat tetap bisa membeli rumah tahun ini.
Baca Juga:
Pendaftaran Fuel Card 5.0 dibuka, Ini Lokasi dan Persyaratan yang Harus di Persiapkan
"Kalau dari sudut pandang pemerintah yang bisa dilakukan adalah berikan insentif-insentif karena kalau masalah harga, itu kan mekanisme pasar," ungkap Anton kepada CNNIndonesia.com, Jumat (8/7).
Saat ini, kata Anton, pemerintah telah memberikan insentif berupa diskon pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar 50 persen. Namun, kebijakan itu hanya berlaku sampai September 2022.
Insentif itu juga sebenarnya turun dari 2021 lalu, di mana pemerintah memberikan diskon PPN hingga 100 persen kepada masyarakat yang hendak membeli rumah.
Baca Juga:
Usai MA Batalkan Vonis Bebas Kasus Timbun BBM, AKBP Achiruddin Langsung Ditahan
"Pemerintah belakangan ini memang sudah responsif, tapi mungkin bisa lebih fleksibel. Kalau diperlukan lagi diskon PPN 100 persen kenapa tidak," jelas Anton.
Tak hanya itu, pemerintah juga harus memberikan insentif kepada pengembang. Sebab, harga bahan bangunan juga sedang tinggi-tingginya sekarang.
Salah satu insentif yang bisa diberikan adalah diskon pembayaran pajak penghasilan (PPh) dan diskon PPN ketika pengembang membeli bahan bangunan yang dibutuhkan.
"(Untuk pengembang) bisa juga mungkin PPh, lalu PPN untuk beli bahan-bahan produksi mereka," terang Anton.
Senada, Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Abra Talattov menilai pemerintah harus rela mengucurkan banyak subsidi. Bukan hanya agar masyarakat bisa beli rumah, tapi untuk menekan laju inflasi di dalam negeri.
"Mau tidak mau APBN digunakan untuk meredam gejolak kenaikan harga melalui kebijakan subsidi dalam berbagai hal, pangan, energi. Bantuan sosial itu menjadi instrumen untuk menstabilkan harga-harga di Indonesia," ucap Abra.
Ketika inflasi berhasil ditekan, otomatis harga barang-barang akan turun termasuk bahan bangunan. Hal itu akan membuat beban biaya pengembang berkurang dan harga rumah berpotensi turun.
Selain itu, Bank Indonesia (BI) juga berpeluang tetap menahan bunga acuan di level 3,5 persen jika inflasi stabil. Sebaliknya, ketika inflasi tinggi, bank sentral biasanya akan mengerek bunga acuan.
Kalau suku bunga acuan naik, maka bunga KPR otomatis juga meningkat. Alhasil, total biaya yang harus dikeluarkan untuk membeli rumah semakin tinggi.
Di sisi lain, Direktur Eksekutif Indonesia Property Watch (IPW) Ali Tranghanda mengatakan pemerintah harus memiliki bank tanah di setiap daerah. Nantinya, tanah itu bisa dibangun perumahan yang dijual dengan harga murah.
"Untuk jangka panjang saya mengusulkan pemerintah harus punya bank tanah di setiap daerah untuk dibangun rumah murah," kata Ali.
Saat ini, Ali mengatakan pemerintah memang sudah punya program Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP).
FLPP adalah dukungan fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan kepada masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) yang pengelolaannya dilaksanakan oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR).
Namun, Ali menilai pengembang kesulitan membangun rumah dengan fasilitas FLPP. Masalahnya, patokan harga rumah FLPP masih sama seperti 2021 lalu di tengah kenaikan harga bahan bangunan.
"Saat ini pengembang perumahan FLPP agak kesulitan membangun karena patokan harga baru belum juga ditetapkan pemerintah. Pengembang merasa harus ada kenaikan karena bahan bangunan naik. Rencana ada kenaikan 7 persen tapi belum resmi," papar Ali.
Harga patokan rumah FLPP diatur dalam Keputusan Menteri PUPR Nomor 995/KPTS/M/2021 tentang Batasan Penghasilan Tertentu, Suku BUnga/Marjin Pembiayaan Bersubsidi, Masa Subsidi, Jangka Waktu Kredit/Pembiayaan Pemilikan Rumah, Batasan Luas Tanah, Batasan Luas Lantai, Batasan Harga Jual Rumah Umum Tapak dan Satuan Rumah Susun Umum, dan Besaran Subsidi Bantuan Uang Muka.
Dalam aturan itu disebutkan harga rumah umum tapak di Jawa dan Sumatera paling besar Rp150,5 juta, serta Kalimantan Rp164,5 juta.
Kemudian, Sulawesi, Bangka Belitung, Kepulauan Mentawai, dan Kepulauan Riau Rp156,5 juta, Maluku, Maluku Utara, Bali, Nusa Tenggara, Jabodetabek, Kepulauan Mahakam Ulu Rp168 juta, serta Papua dan Papua Barat Rp219 juta.
Selain FLPP, Ali mengatakan pemerintah juga bisa mendorong pembangunan hunian vertikal di kawasan industri. Lalu, memberikan kemudahan bagi pekerja di kawasan industri untuk membeli rumah tersebut.
"Jadi pekerja dan buruh bisa tinggal di sana," kata Ali.
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan masyarakat akan semakin kesulitan untuk membeli rumah ketika inflasi semakin tinggi seperti sekarang.
Sri Mulyani menjelaskan kenaikan inflasi biasanya akan membuat Bank Indonesia (BI) mengerek suku bunga acuan. Ketika itu terjadi, maka suku bunga Kredit Pemilikan Rumah (KPR) otomatis ikut naik.
"Dengan inflasi tinggi maka masyarakat akan semakin sulit untuk bisa membeli (rumah)," ungkap Sri Mulyani dalam acara Securitization Summit 2022, Rabu (6/7).
Ketika suku bunga KPR semakin tinggi, maka total biaya yang harus dibayar masyarakat untuk membeli rumah semakin mahal. Hal itu akan membuat masyarakat semakin betah tinggal di rumah orang tua.
"Keinginan mereka dibandingkan harga rumah lebih tinggi, sehingga mereka akhirnya enak dengan tinggal di rumah mertua atau nyewa," ujar Sri Mulyani.
Sementara, bendahara negara mengatakan angka kesenjangan antara ketersediaan dan kebutuhan (backlog) rumah di Indonesia semakin tinggi. Jumlahnya mencapai 12,75 juta.
"Itu artinya yang antre membutuhkan rumah, apalagi Indonesia demografinya masih relatif muda, artinya generasi muda ini akan berumah tangga dan membutuhkan rumah," jelas Sri Mulyani. [tum]