Wahanakonsumen.com I Kepala Departemen Komunikasi BI Erwin Haryono menjelaskan gagasan mengenai redenominasi rupiah selalu menjadi bahasan para pemangku kebijakan keuangan, baik itu pemerintah pusat dan otoritas terkait.
Namun, tujuan dari redenominasi itu sendiri, kata Erwin tetap sama, yaitu untuk menyederhanakan pecahan uang agar lebih mudah dan nyaman.
Baca Juga:
BI Umumkan Uang pecahan Rp10 Ribu Tahun Emisi 2005 Tidak Berlaku Lagi
Bank Indonesia (BI) kembali buka-bukaan terkait wacana redenominasi rupiah.
Hal ini disinggung kembali oleh Aida S Budiman yang baru saja disetujui Komisi XI DPR menjadi Deputi Gubernur BI.
Aida mengungkapkan bahwa pada dasarnya redenominasi rupiah merupakan suatu kebijakan yang positif untuk mengurangkan nolnya, tanpa mengubah nilai tukarnya. Lantas, apakah proses redenominasi rupiah sudah mulai berjalan? Simak penjelasan BI secara ekslusif kepada CNBC Indonsia.
Baca Juga:
Bank Indonesia Sebut Uang Pecahan Rp10 Ribu Tahun Emisi 2005 Tidak Berlaku Lagi
"Jadi, ketimbang bawa-bawa nominal yang nol-nya banyak, nolnya dibuang. Tidak ada issue selain kepraktisan yang ingin diambil disana," jelas Erwin saat dihubungi via video conference, Rabu (1/12/2021) dikutip dari CNBC Indonesia.
Redenominasi rupiah itu, kata Erwin belum akan dilakukan dalam waktu dekat ini. Karena saat ini perekonomian di tanah air masih belum pulih karena dampak dari pandemi Covid-19. Karena redenominasi harus dilakukan disaat kondisi ekonomi sedang baik dan stabil.
Terpenting, kata Erwin redenomnasi dan sanering merupakan hal yang berbeda. Dan kebijakan sanering yang pernah dilakukan Indonesia pada tahun 1959 disaat daya beli masyarakat Indonesia melambung terlalu tinggi, akan menjadi pelajaran serius bagi para pemangku kebijakan.
"Kita punya pengalaman traumatik saat bikin sanering. Nah, sehingga apabila kebijakan ini dilakukan pada saat ekonomi itu belum stabil, itu dikhawatirkan membuat isu yang tidak-tidak," ujarnya.
Erwin melanjutkan, apabila kebijakan redenominasi itu dikaitkan dengan sanering akan membuat persepsi masyarakat mengenai nilai rupiah dan tujuan untuk menyederhanakan pecahan nilai rupiah itu pudar.
"Maksud kepraktisan itu bisa berbalik, orang malah panik, tidak mau megang rupiah dan sebagainya. Sehingga, poin saya ide tentang redenominasi itu tidak pernah mati sebetulnya. Tapi kita sedang betul-betul mencari timing yang tepat," tutur Erwin.
"Sambil menunggu timing yang tepat, juga dibutuhkan sosialisasi yang masif untuk mengatakan kepada masyarakat, sebetulnya tidak ada berubah (nilai mata uangnya), selain nol-nya yang hilang (berkurang)," ujar Erwin lagi.
Untuk diketahui, redenominasi kerap kali disamakan dengan sanering atau pemotongan nilai mata uang. Padahal redenominasi dan sanering merupakan dua kebijakan yang berbeda sama sekali.
Redenominasi adalah penyederhanaan nilai mata uang tanpa mengubah nilai tukarnya, untuk menyederhanakan pecahan uang agar lebih mudah dan nyaman dalam melakukan transaksi. Sehingga tidak perlu banyak angka nol di belakang angka nominal.
Contoh dari redenominasi rupiah yakni misalnya nilai uang Rp 1.000 akan tetap sama dengan Rp 1 jika sudah diredenominasi. Contoh kasus, seseorang membeli barang seharga Rp 1.000, sesudah redenominasi, orang tersebut masih bisa membeli barang tersebut dengan pecahan uang Rp 1 karena nilainya sama.
Sedangkan sanering adalah pemotongan nilai uang, bahkan bisa separuhnya. Sanering biasanya dilakukan saat ada gejolak perekonomian suatu negara, misalnya hiperinflasi. Pemotongan nilai uang atau sanering untuk memangkas daya beli yang teramat tinggi.
Contoh dari sanering yakni misalnya A memiliki pecahan Rp 50.000, kemudian dilakukan sanering maka nilainya menjadi Rp 25.000. Sebagai contoh, ketika A membeli 2kg daging ayam Rp 50.000, maka setelah disanering orang itu hanya bisa membeli 1 kg daging ayam dengan pecahan Rp 50.000. Karena uang Rp 50.000 telah disanering menjadi senilai Rp 25.000. (tum)