Wahanakonsumen. com I Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) membongkar polemik Polymerase Chain Reaction (PCR) yang selama ini disebut-sebut ada kegiatan bisnis di balik pandemi COVID-19
KPPU mengkaji industri PCR termasuk melakukan diskusi dengan berbagai pihak di antaranya BPKP, Persi, Gakeslab, ILKI, ICW dan lainnya.
Baca Juga:
Ini Beda Tes PCR Pada Pasien Covid-19 dengan Cacar Monyet
Direktur Ekonomi KPPU, Mulyawan Ranamanggala mengakui ada beberapa pihak yang memanfaatkan kebijakan PCR demi meraup keuntungan. Hal itu dilakukan melalui praktik bundling tes PCR, menggabungkan sebuah layanan jasa dengan tes PCR.
"Kami melihat ini ada indikasi memaksimumkan keuntungan ketika tadi ada bundling PCR," ungkap Mulyawan dalam sebuah forum jurnalis virtual, dikutip Minggu (14/11/2021).
Modus Keruk Untung dari Tes PCR Dibongkar, Siapa yang Terlibat?
Baca Juga:
KAI Mulai Berlakukan Wajib Tes RT-PCR Bagi Pelanggan Usia 18 Tahun yang Belum Booster
Sebagai contoh, ia mengaitkan sebuah jasa konsultasi pemeriksaan dokter yang juga menyediakan jasa tes PCR. Nah, harga yang harus dikeluarkan untuk PCR, kata dia, biasanya lebih mahal bahkan dua kali lipat dari harga pasaran.
"Ketika ada tes PCR yang di-bundling dengan jasa konsultasi dengan dokter misalnya. Dia (tarif PCR) akan melambung harganya jadi dua kali lipat," papar Mulyawan.
Dia menilai, praktik semacam ini merupakan sebuah bentuk persaingan usaha tidak sehat. Terutama saat tes PCR digunakan dalam rangka pemeriksaan COVID-19, justru ini digunakan untuk mencari untung.
"Bundling begini memunculkan potensi persaingan usaha tidak sehat, kan esensi PCR untuk membuktikan apakah orang itu terkena virus Corona atau tidak. Bukan untuk menjadi bagian dari bisnis," kata Mulyawan.
Pihaknya juga mengendus adanya kelompok tertentu dari pelaku usaha laporatorium PCR. Kelompok ini juga sama-sama berpotensi melakukan upaya persaingan yang tidak sehat di bisnis PCR.
Mulyawan sempat dikonfirmasi dengan nama-nama 'pemain besar' dari bisnis PCR ini seperti yang akhir-akhir ini ramai dibicarakan publik. Namun Mulyawan tidak bicara banyak dan menuturkan masih mendalami seberapa besar kekuatan kelompok ini dalam bisnis PCR di dalam negeri.
"Mengenai data kelompok pelaku usaha besar yang banyak beredar (GSI, Bumame hingga Intibio) mungkin saya bisa jawab sebagian mungkin benar. Tapi kami masih akan verifikasi dari informasi beredar, kami masih pendalaman," kata dia.
"Kami indikasikan bahwa wada beberapa kelompok usaha dalam pelaku usaha laboratorium. Kami sedang dalami bagaimana kekuatan kelompok usaha ini dalam pangsa pasanya di bisnis tes PCR yang dilakukan selama ini," sambungnya.
Importasi Reagen
Selama pandemi COVID-19, KPPU melihat pemerintah semakin mempermudah praktek impor alat-alat kesehatan termasuk di dalamnya Reagen PCR, salah satu komponen dalam tes PCR. Sehingga, kata dia, banyak temuan perusahaan pengimpor reagen.
Namun, hingga saat ini belum diketahui asumsi harga reagen yang menjadi patokan pemerintah dalam perhitungan HET (Harga Eceran Tertinggi). Menurutnya, harga reagen dapat disesuaikan pemasok rata-rata 37,29% pasca penetapan tarif PCR di bulan Agustus 2021.
"Ini dapat mengindikasikan adanya peran importir dan distributor reagen dalam mempengaruhi tarif PCR. Memperhatikan temuan tersebut, ke depan KPPU akan melakukan pendalaman terkait importir reagen," jelasnya.
Saat ini ada 60 merek reagen yang mendapat izin edar Kementerian Kesehatan. Impor reagen per 2020 sebagian besar dilakukan oleh swasta (85,07%), sedangkan pemerintah dan lembaga (14,92%).
Proporsi impor yang dilakukan pihak swasta meningkat pada September 2021 menjadi 93,84% sementara pemerintah dan lembaga hanya 6,15%.
Dia juga meminta agar pemerintah terbuka dalam perhitungan eceran tertinggi. Tujuannya agar pengawasan harga tes PCR terhadap kebijakan HET dapat lebih efektif. (tum)