Konsumen.WahanaNews.co | Kondisi ekonomi Indonesia tidak baik-baik saja meski pandemi covid-19 sudah landai. Pasalnya, akan ada risiko baru yang dipicu oleh ketegangan geopolitik antara China-Taiwan. Hal itu ditegaskan Menteri Keuangan Sri Mulyani.
Ia mengatakan pemerintah sangat optimistis ekonomi Indonesia pada 2022 akan lebih baik dari pencapaian 2021 yang tumbuh positif.
Baca Juga:
Menteri Keuangan Terima Kunjungan President of Global Development Gates Foundation
Namun, saat tahun ini berlangsung muncul hal tak terduga yakni perang Rusia-Ukraina yang menyebabkan berbagai krisis mulai dari energi, pangan, hingga keuangan.
Kemudian, disusul oleh konflik antara China-Taiwan yang dikhawatirkan kembali menyebabkan terganggunya rantai pasok.
"Dan sekarang ketegangan juga melonjak tinggi di Taiwan. Ini pasti akan menimbulkan tambahan risiko pada disrupsi sisi suplai," ujarnya dalam konferensi pers APBN Kita, Kamis (11/8).
Baca Juga:
Indonesia Tunjukkan Ketahanan Ekonomi dan Komitmen Masa Depan pada Peluncuran Survei Ekonomi OECD 2024
Terganggunya rantai pasok dan menyebabkan disrupsi sisi suplai ini dikhawatirkan akan membuat tekanan inflasi di berbagai negara makin tinggi.
Seperti di Amerika Serikat (AS) dan Eropa yang inflasinya saat ini sudah sangat tinggi dan direspon oleh kebijakan moneter dengan kenaikan suku bunga.
Kebijakan moneter yang lebih agresif dan ketat dari negara-negara maju ini, tentu memberikan dampak yang tidak baik bagi negara di dunia termasuk Indonesia.
"Tindakan ini menimbulkan efek rambatan ke berbagai negara. Volatilitas pasar keuangan melonjak, capital outflow terjadi di negara berkembang dan emerging dan ini akan menekan nilai tukar rupiah, meningkatkan lonjakan biaya utang," jelasnya.
Kondisi ini tentu membuat negara yang sebelum dan selama pandemi kondisi keuangan negaranya memburuk jadi makin buruk. Rasio utangnya menjadi di atas 60 persen, dan bahkan ada yang sampai 100 persen.
"Sehingga IMF menyampaikan bahwa di seluruh dunia ini ada 60 negara lebih yang berpotensi hadapi krisis utang dan ini disebabkan karena biaya bunga utang yang melonjak tinggi," imbuhnya.
Kondisi pelemahan keuangan di berbagai negara dengan inflasi tinggi, serta pengetatan suku bunga dinilai akan makin memperlemah kondisi pertumbuhan ekonomi dunia.
"Kombinasi pelemahan ekonomi dunia dan inflasi tinggi adalah sebuah kombinasi sangat rumit dan berbahaya bagi para policy maker dan perekonomian. Inilah yang kita sebut risiko perekonomian bergeser, dari tadinya mengancam dari pandemi, sekarang bergeser menjadi risiko finansial melalui berbagai penyesuaian kebijakan dan lonjakan inflasi yang tinggi," pungkasnya. [tum]