Konsumenlistrik.WahanaNews.co | Subsidi energi dinilai tidak bisa terus dilakukan. Presiden Joko Widodo (Jokowi) perlu mengambil terobosan, karena jika tidak bisa memengaruhi keuangan PT PLN (Persero) dan PT Pertamina (Persero).
Ekonom Senior Faisal Basri menjelaskan pemberian subsidi hingga Rp 502 triliun di tahun ini telah naik lima kali lipat. Sementara di tengah ketidakpastian yang tinggi saat ini, pemerintah mengalami keterbatasan anggaran.
Baca Juga:
Jelang KTT WWF ke-10 di Bali, PLN Siapkan 52 Charging Station untuk Layani Ratusan Kendaraan Listrik Delegasi
"Pemerintah gak mandang ini subsidi, pemerintah mengalami keterbatasan anggaran, yang disubsidi ini kecil sekarang muncul dana kompensasi," jelas Faisal kepada CNBC Indonesia dikutip Rabu (29/6/2022).
Sementara dana kompensasi yang diberikan pemerintah ini guna Pertamina dan PLN menahan laju kenaikan harga, justru akan memberatkan kedua badan usaha plat merah tersebut.
"Dana kompensasi yang dibayar suka-suka kapan, jadi Pertamina dan PLN nombok dulu," ujar Faisal lagi.
Baca Juga:
Pecinta Voli Jawa Timur Antusias Saksikan Proliga 2024, Tiket di PLN Mobile Ludes Terjual
Dengan demikian, yang harus diwaspadai pemerintah ke depan adalah kerusakan pada BUMN tersebut karena likuiditas yang terganggu sehingga tidak bisa membeli minyak mentah dari luar negeri.
Faisal bilang, pembayaran subsidi lebih dari 1-2 tahun, menyebabkan efek berantai secara keseluruhan yang menyebabkan ongkos operasional PLN dan Pertamina membengkak.
Oleh karena itu, Faisal menyarankan agar pemerintah bisa melakukan asumsi ulang harga minyak mentah Indonesia (Indonesian Crude Price/ICP) di dalam APBN.
"Cara satu-satunya adalah melakukan adjustment harga minyak mentah dan pemerintah menyiapkan bantalan untuk masyarakat yang sangat rentan. Itu saja," tegas Faisal.
Lagipula, menurut catatan Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan, subsidi energi yang dianggarkan di tahun ini tidak tepat sasaran. Subsidi yang seharusnya dinikmati oleh golongan tidak mampu dan rentan, justru dinikmati mereka yang mampu alias orang kaya.
Tren konsumsi LPG 3 kg terus meningkat dibandingkan dengan konsumsi LPG non subsidi. Data yang dimiliki BKF Kementerian Keuangan, sepanjang tahun 2022 konsumsi LPG 3 kg mencapai 7,82 juta metrik ton. Sementara LPG non subsidi konsumsinya hanya 0,58 juta metrik ton.
Hal yang sama juga terjadi pada subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) RON 90 atau Pertalite. Bagaimana konsumsi Pertalite mayoritas dikonsumsi masyarakat berpenghasilan atas.
Di mana konsumsi Pertalite hanya dinikmati 20,7% dari total konsumsi masyarakat kelas menengah ke bawah atau sekitar 17,1 liter per rumah tangga per bulan. Sementara orang berpenghasilan atas menikmati hampir 80% atau 79,3% dari total konsumsi atau 33,3 liter per rumah tangga per bulan. [tum]