Konsumen.WahanaNews.co | Hingga saat ini masalah megaproyek apartemen Meikarta milik anak usaha Lippo Group, PT Mahkota Sentosa Utama (MSU) masih belum usai.
Konsumen kini menunggu nasib cicilan yang sudah mereka bayarkan.
Baca Juga:
Perbedaan Hukum Perlindungan Konsumen dalam Berbagai Bidang
Pengamat properti, Panangian Simanungkalit, menyarankan agar dibuat perjanjian tambahan atau adendum antara pengembang proyek dengan konsumen untuk menyelesaikan permasalahan tersebut.
"Idealnya sebenarnya begini, dibuat perjanjian adendum, maksudnya perjanjian tambahan untuk mengikat kedua belah pihak terutama dalam hal dari pengembang, kapan bangunan itu bisa diterima konsumen," kata Panangian melansir dari kumparan, Rabu (21/12).
Panangian mengatakan konsumen pada posisi saat ini akan rugi apabila melepas aset yang sudah mereka cicil. Pasalnya, aset tersebut dibeli dengan harga 2-3 tahun lalu sebelum material bangunan harganya melonjak seperti saat ini. Namun dengan catatan, properti itu jadi.
Baca Juga:
Mantan Ajudan Eks Mentan SYL Dapat Perlidungan dari LPSK
Agar hal seperti itu tak terjadi, Panangian menyarankan masyarakat tidak membeli rumah pada saat pembangunan. Namun memilih mencicil rumah yang sudah jadi dan siap ditempati.
"Untuk mencegah, jangan lakukan pembelian properti dengan seperti ini kalau memang enggak bisa beli (dengan) risiko. Belinya yang ready stok," tegas Panangian.
Peran Pemerintah
Panangian menilai pemerintah bisa memberikan andil pada persoalan ini dengan menjadi jembatan antara pengembang dengan konsumen. Hal itu untuk menjembatani adendum yang dibuat kedua belah pihak nantinya.
"Pemerintah turun tangan sebagai penengah, maksudnya menjadi semacam saksi mengikat kesepakatan yang ada di dalam adendum. Adendum mengatakan pengembang berjanji menyerahkan unit tanggal dan bulan sekian, sebaliknya konsumen berjanji mengikuti semua jadwal itu," terangnya.
Menurutnya, opsi seperti itu bisa saja dilakukan. Namun kembali lagi bagaimana keputusan yang diambil pemerintah. Paniangan skeptis hal itu bisa berjalan. Sebab, kata Paniangan, pemerintah saat ini lebih pro kepada investor, daripada konsumen.
"Jadi dengan kesaksian pemerintah, konsumen lebih tenang. Tapi saya ragu pemerintah enggak mau," ujarnya.
Adapun terkait pengembalian dana atau refund yang saat ini dituntut oleh konsumen, Panangian mengatakan hal tersebut memang ada kemungkinan untuk bisa dilakukan. Namun karena bentuk transaksinya berupa kontrak, tentu melihat bagaimana klausul di dalamnya.
Perlindungan Konsumen Tidak Kuat
Lebih lanjut, Panangian menyoroti regulasi properti di Indonesia saat ini. Menurutnya, perlindungan konsumen di Indonesia masih rendah. Berbeda dengan di Singapura.
"Jadi ada semacam perlindungan dari pemerintah, bahwa pengembang tak boleh ambil uang ketika proyek belum jadi. Atau dalam proses pengambilan uang itu, boleh sesuai dengan progres. Jadi 30 persen dibayar 30 persen," jelasnya.
Dia menilai pemerintah saat ini lebih condong kepada investor dengan membuat regulasi yang menjadikan karpet merah. Di lain sisi, perlindungan konsumen masih sangat rendah.
"Kelonggaran itu yang seringkali abu-abu. Pengetatan hukum itu belum terjadi di jual beli perumahan. Dari dulu itu," tutur Panangian.
Dihubungi terpisah, Country Manager Rumah.com, Marine Novita, menjelaskan, pemerintah bisa turut andil dalam permasalahan yang dialami konsumen rumah susun. Hal itu diatur di dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun.
Pasal 5 beleid tersebut menyatakan, bahwa negara bertanggung jawab atas penyelenggaraan rumah susun yang pembinaannya dilaksanakan oleh pemerintah.
"Bentuk pembinaan tersebut antara lain dengan mensosialisasikan hak-hak dan kewajiban developer dan pembeli rumah agar berlangsung dengan lancar sesuai aturan yang berlaku," terang Marine. [tum]