Namun, bagi kelompok informan ahli masyarakat, yang selama ini banyak bersinggungan dengan pemanfaatan layanan informasi publik, tidak menilai setinggi itu.
Bahkan, bagi para informan ahli yang berasal dari pelaku usaha, menilai lebih rendah lagi. Tidak jarang pula, kategori ”buruk” dinyatakan.
Baca Juga:
Sederet Biskuit Asal Malaysia Diklaim Mengandung Zat Pemicu Kanker
Dalam praktik, tegangan semacam itu menjadi wajah keseharian pemproduksian, layanan, dan pemanfaatan informasi publik.
Para aparatur negara yang bernaung dalam badan publik, seperti kementerian, pemerintahan provinsi, BUMN, perguruan tinggi, sedemikian rupa menyatakan bahwa peran sebagai penyedia informasi sebagaimana yang telah teramanatkan dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik telah baik dilakukan.
Termasuk dalam memperlakukan berbagai informasi yang tergolong dalam pengecualian.
Baca Juga:
Menteri PDTT: 20 Investor Akan Borong Produk Unggulan Desa di Bali
Hanya saja, tidak selalu selaras dengan penilaian masyarakat.
Umumnya memandang bahwa ketidakjelasan batas-batas kategori informasi publik dan sisi birokratis layanan informasi menjadi penghambat.
Hak-hak masyarakat yang dijaminkan undang-undang, seperti hak untuk mengetahui (right to know), hak untuk melihat dan memeriksa (right to inspect), hak untuk mendapatkan salinan dokumen atau hak akses aktif (right to obtain the copy), hak untuk diinformasikan atau hak akses pasif (right to be informed), dan hak untuk menyebarkan luaskan informasi (right to disseminate), terhambat.