Akhirnya Mahpuduah, mencoba mengembangkan potensi yang pertama yaitu mengembalikan kejayaan Rungkut Lor Gang 2 dengan membukau saha sulam pita. Tapi, usaha itu tidak berpengaruh besar terhadap perekonomian ibu-ibu.
Menurutnya, dengan membangun komunitas usaha bisa mengangkat martabat perempuan menjadi pribadi yang lebih produktif, khususnya bagi ibu-ibu di Rungkut Lor Gang 2 yang sebelumnya menganggur.
Baca Juga:
Kredit UMKM Tanpa Jaminan dan Bunga di Kukar Jadi Rujukan Daerah
Disamping itu, ada sebagian ibu-ibu yang menolak didirikannya komunitas, namun dia menganggap hal tersebut merupakan hal yang lumrah. Berbekal tekad yang kuat, akhirnya pada tahun 2005 resmi berdiri komunitas “Kampung Kue” yang di dalamnya terdiri dari 63 pengusaha kue, baik kue basah dan kering.
“Dari situ saya mengajak ibu-ibu pelatihan bikin kue sebisa saya. Kemudian lama-kelamaan kita punya jaringan dengan LSM-LSM perempuan, serikat buruh dan dinas-dinas dengan perusahaan-perusahaan swasta, BUMN, universitas dan para mahasiswa yang akhirnya membuat nama kampung kue semakin dikenal,” ujarnya.
Saat awal mendirikan komunitas Kampung Kue, dihadapkan dengan kesulitan pembiayaan. Saat itu, semua pendanaan masih keluar dari kantong pribadi Mahpuduah.
Baca Juga:
Gawat! Korban PHK di Indonesia Tembus 64 Ribu, 3 Sektor Utama Paling Terdampak
Kemudian, dia sadar bahwa diperlukan urunan dana dari anggota. Terkumpulah dana sebanyak Rp150 ribu yang berasal dari 3 orang anggota komunitas Kampung Kue. Dana tersebut digunakan untuk simpan pinjam anggota jika memerlukan dana untuk membuat kue.
Seiring berjalannya waktu, anggota komunitas terus bertambah, dari 10 orang menjadi 15 orang, seterusnya hingga kini ada 63 orang.
Setiap anggota diarahkan untuk memiliki simpanan pokok Rp 50 ribu dan simpanan sukarela disesuaikan dengan kemampuan anggota, sementara simpanan wajibnya Rp 10 ribu per bulan.