Perapki.WahanaNews.co | Kasus pembunuhan berencana yang menimpa Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J diprediksi tak lama lagi bakal bergulir ke meja hijau.
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan, Mahfud MD mengaku tidak akan ikut campur dalam proses peradilan dengan tersangka Irjen (Pol) Ferdy Sambo.
Baca Juga:
Pemkab Dairi Siap Dukung Gugus Tugas Polri Sukseskan Ketahanan Pangan
"Hukumannya terserah hakim nanti (ketika di pengadilan). Tapi, ancaman maksimal hukumannya itu hukuman mati. Kalau hukuman mati dan seandainya nanti terbukti, lalu hukumannya di bawah 15 tahun, maka itu tidak adil. Wong, ancamannya hukuman mati tapi kok hanya kena 15 tahun," ungkap Mahfud ketika berbicara di program siniar Deddy Corbuzier yang tayang di YouTube pada Jumat, 12 Agustus 2022 lalu.
"Tapi, sekali lagi, bila ia terbukti di pengadilan lho ya," tutur dia lagi.
Di sisi lain, Mahfud juga menyebut istri Ferdy Sambo, Putri Candrawathi sudah berbicara ke penyidik terkait peristiwa pada 8 Juli 2022 lalu. "Nanti, tunggu saja di pengadilan (apa pengakuannya). Tapi, dia sudah ngomong kok (ke penyidik)," katanya.
Baca Juga:
Perang Melawan Narkoba: Polda Sumut Ungkap 32 Kasus dan Sita 201 Kg Sabu, 272 Kg Ganja serta 40.000 butir Ekstasi
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) itu juga sempat menyebut beberapa motif yang mendorong Sambo membunuh ajudannya sendiri. Setidaknya, ia mendengar tiga motif.
Pertama, perselingkuhan empat segi, kedua, dugaan pelecehan seksual. "Tapi, ketiga yang agak resmi, malah menyebut, (motif) itu karena diduga adanya perkosaan di suatu tempat. Lalu, terjadilah perencanaan (pembunuhan)," tutur dia.
Maka, daripada berspekulasi, Mahfud menyarankan agar hal tersebut ditanyakan ke pihak kepolisian. Ia pun juga sempat menyinggung peristiwa Sambo yang memeluk Kapolda Metro Jaya, Irjen (Pol) Fadil Imran. Apa yang dikatakan oleh Mahfud?
Mahfud juga menyebut di tengah kemajuan pesat teknologi, kini sulit menyembunyikan kejahatan. Cepat atau lambat terdapat bocoran yang akhirnya diketahui oleh publik.
Mahfud menyebut contoh pertemuan Kapolda Metro Jaya, Irjen (Pol) Fadil Imran dengan Sambo beberapa waktu lalu. Keduanya sempat berpelukan, sambil menangis.
"Ketika Fadil berpelukan dengan Sambo, itu kan di sebuah ruangan yang tidak ada orang. Hanya ada dua atau tiga orang. Bisa beredar videonya. Ya, memang bisa jadi ada orang mereka yang mengabadikan atau kamera CCTV," kata Mahfud.
Ia menambahkan kini sepak terjang seseorang sangat mudah diungkap ke publik. "Oh, dulu orang ini melakukan ini dan seterusnya. Sehingga, track record Pak Sambo yang dulu gak dipedulikan orang, ketika ada peristiwa ini, kemudian jadi masuk laporannya ke saya. Dan yang melaporkan ke saya adalah personel Kompolnas 10 tahun lalu. Dia sudah pernah memeriksa kasus yang melibatkan Sambo," tutur dia.
2. Mahfud cerita Kompolnas lobi Mabes agar pemakaman Yosua dilakukan secara kedinasan
Di sisi lain, Mahfud juga bercerita bahwa pihak Mabes Polri tetap tak bersedia memakamkan jasad Yosua secara kedinasan usai dilakukan autopsi ulang pada 27 Juli 2022 lalu. Namun, berkat surat dari Ketua Harian Kompolnas, Irjen (Pol) Purn Benny Mamoto, akhirnya jasad Yosua dimakamkan secara kedinasan polisi.
"Kan, semula tetap gak mau (dimakamkan secara kedinasan) sampai sesaat sesudah diekshumasi itu. Akhirnya, kirim surat dan dibolehkan. Akhirnya bersih lah (nama Yosua) usai dieksehumasi itu," kata dia.
Dari Benny pula, Mahfud mendapat laporan banyak barang bukti dalam kematian Yosua yang hilang. Hasil olah TKP pertama dan kedua berbeda.
"Hal itu bisa terjadi karena ia berubah perspektif," ujarnya lagi.
3. Mahfud sentil anggota DPR yang cenderung diam lihat Ferdy Sambo bunuh ajudan
Lebih lanjut, Mahfud juga sempat menyinggung sikap diam anggota DPR ketika melihat kasus pidana yang melibatkan Ferdy Sambo. Padahal, hal ini bukan sekedar kasus biasa. Biasanya, DPR lantang bersuara.
"Lalu, saya disindir dan disebut Menko yang jadi komentator. Lho, saya bukan menjadi komentator, tetapi saya menjalankan tugas saya untuk mencerahkan dan memberi penjelasan tentang situasinya," kata dia.
Ia menemukan perbedaan sikap ketika AKBP Raden Brotoseno yang residivis malah dibolehkan bekerja di Mabes Polri. Ketua Komisi III DPR, Bambang 'Pacul' Wuryanto kemudian berteriak lantang dan menanyakan kepada Polri apa prestasi Brotoseno sehingga tetap dipertahankan menjadi personel polisi.
"Orang koruptor kok tetap dipertahankan? Apa jasanya orang korupsi? Karena Bambang Pacul ribut, akhirnya Polri membuat Perkap untuk memecat Brotoseno," katanya.
Ia menduga fenomena psiko hirerarkis itu juga menjangkiti DPR. [tum]