Wahanaadvokat.com | Belakangan ini viral boneka arwah atau spirit doll yang dianggap diisi arwah atau roh dari orang yang sudah meninggal.
Boneka yang bentuknya sangat mirip dengan bayi manusia itu kini menjadi sorotan setelah sejumlah artis di tanah air mengadopsinya.
Baca Juga:
Ijtima Ulama Komisi Fatwa MUI: Salam Lintas Agama Bukan Implementasi Toleransi
Yang begitu menarik perhatian adalah boneka tersebut diasuh atau dirawat layaknya bayi manusia, berikut dengan fasilitasnya. Spirit doll diperlakukan selayaknya anak asuh si pemilik.
Bahkan, tidak sedikit yang menganggap ada manfaat dari mengadopsi spirit doll tersebut. Beberapa orang yang mengadopsi spirit doll mengaku seolah mendapat keberuntungan, merasa dilindungi, dan memiliki teman untuk berbagi cerita.
Maraknya fenomena artis mengadopsi boneka arwah ini kemudian menimbulkan pertanyaan, bagaimana hukum mengadopsi boneka arwah tersebut dalam Islam?
Baca Juga:
26 Pengungsi Rohingya Kabur dari Penampungan di Pekanbaru
Salah satu aktivis dakwah yang menyoroti fenomena itu adalah Ustadz Hilmi Firdausi. Melalui cuitan di akun Twitternya, Ustadz Hilmi mengaku begitu mengkhawatirkan fenomena spirit doll ini.
"Ya Robbana, sudah sangat mengkhawatirkan fenomena spirit doll ini, apalagi setelah diendorse oleh beberapa artis. Mari teman-teman semua jaga dan bentengi aqidah kita dan keluarga dari hal-hal yang menjurus kepada kesyirikan. Ingat, Allah mengampuni semua dosa kecuali dosa syirik. Wallaahul musta'an."
Sekretaris Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), KH Miftahul Huda, menanggapi ini dengan menjelaskan terlebih dahulu mengenai boneka yang umumnya digunakan untuk bermain oleh anak-anak dalam Islam. Ia mengatakan, bahwa jumhur (mayoritas) ulama menyatakan kebolehan atas boneka sebagai mainan anak-anak.
Hal itu sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Sayyidah Aisyah ra:
"Aku dahulu pernah bermain boneka di sisi Nabi shallallahu 'alaihi wa salam. Aku memiliki beberapa sahabat yang biasa bermain bersamaku. Ketika Rasulullah Saw masuk ke dalam rumah, mereka pun bersembunyi dari beliau. Lalu beliau menyerahkan mainan padaku satu demi satu lantas mereka pun bermain bersamaku." (HR. Bukhari No. 6130).
Kiai Miftah berpendapat, bahwa bermain boneka mengajarkan anak memiliki rasa tanggung jawab. Misalnya menjaganya agar tetap bersih dan terawat, tidak rusak, bahkan hingga memakaikan baju.
Menurutnya, menyayangi mainan seperti boneka juga tidak masalah selama itu dalam batas kewajaran. Sebab, kata Kyai Miftah, hal itu termasuk perintah untuk menjaga dan merawat harta hak milik kita sendiri.
Akan tetapi, ia menekankan bahwa yang menjadi masalah adalah ketika menyayangi boneka melampaui batas kewajaran. Seperti ketika orang tersebut sudah berumur dewasa dan masih menjadikan mainan boneka sebagai fokus utama dalam hidupnya. Misalnya, ketika orang tersebut harus membawa bonekanya ke mana-mana, dan jika tidak maka dapat mengganggu aktivitasnya sehari-hari.
"Jika sudah begitu, maka bisa timbul masalah kesehatan mental. Apalagi mempunyai anggapan dan keyakinan bahwa boneka mainan tersebut mempunyai sifat-sifat ketuhanan, seperti mampu mendatangkan kebahagiaan, ketenteraman, atau bahkan diadopsi menjadi anak. Ini adalah salah satu bentuk kesesatan," kata Kyai Miftah, seperti dilansir dari Republika.co.id, Sabtu (1/1/2022).
Kepala Pengasuh Pondok Pesantren Al-Nahdlah Depok ini menegaskan bahwa secara fikih, mengadopsi boneka tentu tidak dibenarkan. Sebab, boneka itu sendiri merupakan benda mati. Terlebih lagi jika mempercayai bahwa di dalam boneka tersebut diisi ruh atau arwah.
"Mempercayai di dalam boneka ada ruh adalah kepercayaan yang sesat, tetapi tidak sampai pada kesyirikan," tambahnya. [tum]