Yusril juga mempertanyakan, apa pantas Mahkamah Konstitusi (MK) menguji UU MK, di mana lembaga tersebut punya kepentingan, baik langsung maupun tidak langsung, dengan undang-undang dimaksud.
“Prof Jimly (saat menjabat Ketua MK) beberapa kali menguji undang-undang yang justru MK dan hakim MK berkepentingan dengan UU yang diuji itu. Prof Jimly akan menjawab tidak ada undang-undang yang melarang MK menguji UU MK,” kata Yusril.
Baca Juga:
Dugaan Pemalsuan Dokumen PBB, Yusril Diadukan ke Bareskrim
“Ya memang tidak, tetapi apa pantas? Apa pantas MK memeriksa pengujian undang-undang yang MK berkepentingan dengannya? Berapa banyak itu dilakukan semasa Prof Jimly jadi Ketua MK?” ucap Yusril.
Mantan Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia ini mengingatkan, dalam hal ini bukan sekadar persoalan etika kepantasan, tetapi berkaitan langsung dengan norma etika fundamental terkait dengan keadilan dan sikap imparsial, serta juga norma hukum positif.
Misalnya, UU Kekuasaan Kehakiman.
Baca Juga:
Yusril Ihza Mahendra Mundur dari PBB, Fahri Bachmid Jadi Penjabat Ketum
“Dalam pengalaman saya, kalau seseorang terpojok dalam debat intelektual dan akademis, biasanya mulai mencari-cari dalil untuk escape,” katanya.
“Jalan paling mudah untuk escape itu ya menuduh pihak lain tidak etis, tidak pantas, kurang elok, yang tidak pernah jelas batasan-batasannya,” tandas Yusril.
Dalam pandangannya, Yusril juga memaparkan bahwa dalam filsafat, norma etik adalah norma fundamental yang melandasi norma-norma lain, termasuk norma hukum.