Tidak hanya itu, ICJR juga meminta Presiden Joko Widodo menginstruksikan kepolisian dan kejaksaan untuk menggunakan penahanan non-rutan sebagai alternatif, misalnya tahanan rumah dan tahanan kota.
“Pemerintah juga dapat mendorong penggunaan mekanisme jaminan yang sudah diatur dalam KUHAP,” terang Erasmus.
Baca Juga:
Aliansi Akademisi Indonesia Ajukan Diri Sebagai Sahabat Pengadilan untuk Bela Bharada E
ICJR juga mendesak Presiden dapat meminta kejaksaan menggunakan Pasal 14a dan 14c KUHP saat menuntut pengguna narkotika. Pasal-pasal itu memungkinkan adanya pidana bersyarat dengan masa percobaan dan rehabilitasi jalan atau inap berdasarkan kebutuhan, terang Erasmus.
ICJR melaporkan jumlah tahanan di rutan dan lapas cenderung meningkat. Per 30 Maret 2020 yaitu pada awal pandemi jumlah tahanan mencapai 270.721 orang, sementara kapasitas rutan dan lapas hanya mencapai 131.931 orang.
Beban rutan dan lapas saat awal pandemi itu mencapai 205 persen.
Baca Juga:
Vonis Mati Herry Wirawan: Erasmus Napitupulu Sebut Negara Gagal Lindungi Korban
Kemudian, pemerintah mengeluarkan kebijakan percepatan asimilasi di rumah, sehingga pada Agustus 2020 beban rutan dan lapas berkurang jadi 175 persen.
Namun, angka itu kembali naik pada 2021. Per Juni 2021, jumlah penghuni rutan dan lapas sebanyak 271.992 sehingga bebannya mencapai 200 persen.
“Hingga saat ini Januari 2022, beban rutan dan lapas mencapai 223 persen,” sebut ICJR dalam siaran tertulisnya. [tum]