Dalam kasus (Nurhayati) ini, kata dia, rupanya ada suatu pemahaman yang perlu diluruskan bahwa penentuan tersangka itu kewenangan kepolisian karena penyidiknya adalah polisi.
"Jadi, kalau toh dilimpahkan ke kejaksaan, jaksa memberikan suatu saran sebagai bentuk ruang komunikasi prapenuntutan, itu hanya dalam hal bukti yang diajukan, bukan menambah tersangka," kata Guru Besar Fakultas Hukum Unsoed itu.
Baca Juga:
Swedia Akhiri Era Digital dalam Pendidikan, Buku Cetak Kembali Jadi Andalan
Karena merupakan kewenangan kepolisian, menurut dia, polisilah yang menentukan tersangka.
Dengan demikian, jika kasus tersebut di-SP3-kan, lanjut dia, berarti polisi yang menentukan dan menerbitkan SP3-nya meskipun berkas sudah dilimpahkan (P-21) ke kejaksaaan.
"P-21 'kan baru tahap pertama, belum diterima seluruhnya, baru penyerahan. Makanya, keinginan polisi untuk SP3-kan itu tugas wewenang polisi karena yang menentukan tersangka itu polisi, bukan jaksa," katanya.
Baca Juga:
Pemkab Bengkayang Luncurkan Program "7 Kebiasaan Siswa Indonesia Hebat" di Wilayah Perbatasan
Menurut dia, SP3 atau penghentian kasus Nurhayati tersebut dilakukan Polri demi kepentingan hukum karena berkaitan dengan kecukupan bukti, peran, dan sebagainya.
"Kalau memang masih ragu, tidak ada bukti, mudah-mudahan, ya, tidak (ada) bukti, ya, dihentikan. Jadi, permasalahan bukti, dihentikan demi kepentingan hukum, bukan kepentingan hukum," katanya menegaskan.
Terkait dengan berkas kasus Nurhayati yang telah dilimpahkan ke kejaksaan, Hibnu mengatakan bahwa jaksa hanya melihat dari aspek kecukupan bukti, bukan karena desakan publik.