"Peristiwa pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat terjadi karena tidak adanya pengendalian yang efektif dari komandan militer yang secara de jure dan/atau de facto berada di bawah kekuasaan," ucap dia.
Dalam kasus itu, kata Ketut, tak ada upaya mencegah atau menghentikan perbuatan pasukan hingga tidak menyerahkan pelakunya kepada pejabat yang berwenang untuk dilakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan. Ketut tak merincikan lebih lanjut mengenai pasukan yang dimaksud oleh dirinya.
Baca Juga:
Soal Mayor Teddy, Gerindra Tegaskan Tak Ikut Kampanyekan Prabowo
"Akibat kejadian tersebut, mengakibatkan jatuhnya korban yakni empat orang meninggal dunia dan 21 orang mengalami luka-luka," kata dia.
Tersangka dijerat pasal berlapis yakni Pasal 42 ayat (1) jo. Pasal 9 huruf a jo. Pasal 7 huruf b Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Kemudian, Pasal 40 jo. Pasal 9 huruf h jo. Pasal 7 huruf b Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.
Paniai berdarah merupakan insiden yang terjadi pada 8 Desember 2014. Kala itu, warga sipil tengah melakukan aksi protes terkait pengeroyokan aparat TNI terhadap pemuda di Lapangan Karel Gobai, Enarotali, Paniai.
Baca Juga:
Prajurit dan PNS TNI Tingkatkan Kepekaan dan Kesigapan Merespons Berita Hoaks
Dalam peristiwa itu, empat pelajar tewas di tempat usai ditembak oleh pasukan gabungan militer. Sementara, satu orang lain tewas usai mendapat perawatan di rumah sakit beberapa bulan kemudian. [tum]