"Putusan hakim kasus pidana pada dasarnya bertujuan untuk melindungi kepentingan publik. Sehingga putusan ultra petita dibenarkan sepanjang hal tersebut dimaksudkan untuk memenuhi kepentingan masyarakat luas atau publik," jelasnya.
Loenard juga mengutip pendapat Van Apeldoorn yang menyebut bahwa hakim harus menyesuaikan (waarderen) undang-undang dengan hal-hal yang konkrit di masyarakat. Selain itu, masih menurut Van Apeldoorn, hakim dapat menambah (aanvullen) undang-undang bila perlu.
Baca Juga:
Kasus Asabri, Kuasa Hukum Adam Damiri: Dissenting Opinion Pertimbangan Banding
"Hakim harus menyesuaikan undang-undang dengan hal yang konkrit, karena undang-undang tidak meliputi segala kejadian yang timbul dalam masyarakat, sehingga putusan hakim dapat memuat suatu hukum dalam suasana 'werkelijkheid' yang menyimpang dari hukum dalam suasana 'positiviteit'," jelasnya.
Leonard pun memberikan contoh perkara suap sengketa pilkada di Mahkamah Konstitusi dengan terpidana Susi Tur Andayani.
Dalam putusannya hakim memutus pasal yang berkualifikasi delik berbeda dengan pasal yang tercantum di dalam surat dakwaan.
Baca Juga:
Sidang Dugaan Korupsi PT ASABRI, 1 WN Malaysia Dimintai Keterangan
"Selain dari perkara tersebut, masih terdapat putusan pengadilan yang lain, yang mana Hakim dalam memutus perkara diluar dari pasal yang didakwakan oleh Penuntut Umum kepada Terdakwa," katanya.
"Demikian halnya penggunaan pasal 63, 64 dan 65 KUHP yang dalam praktik peradilan sering digunakan meskipun tidak dicantumkan dalam surat dakwaan," tambahnya.
Oleh karena pasal-pasal tersebut merupakan pemberatan dan bukan merupakan unsur delik, lanjut Leonard lagi, maka sifatnya sama dengan apa yang tercantum dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. (tum)