Wahanaadvokat.com | Ketiadaan literasi tentang perbudakan menyebabkan masyarakat Indonesia menjadi tidak sensitif atau peka apabila hal tersebut terjadi di sekitarnya.
Pandangan itu disampaikan aktivis hak asasi manusia sekaligus pengajar di Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera, Asfinawati.
Baca Juga:
Masalahkan Tenaga Kerja, Perusahaan Raksasa Italia Stop Beli Minyak Sawit Malaysia
“Indonesia itu memang tidak memiliki literasi tentang perbudakan, baik perbudakan modern maupun praktik-praktik serupa. Oleh karena itu, kita menjadi tidak sensitif jika itu terjadi di sekitar kita,” ujar Asfinawati.
Ia mengemukakan hal tersebut saat menjadi narasumber dalam kajian publik bertajuk “Kerangkeng Manusia: Praktik Perbudakan Modern?” yang disiarkan langsung di kanal YouTube ILUNI FHUI, dipantau dari Jakarta, Sabtu.
Lebih lanjut, Asfinawati pun memaparkan sejumlah hal tentang perbudakan yang perlu diketahui masyarakat.
Baca Juga:
Bupati Langkat Tidak Masuk Daftar Tersangka Kasus Kerangkeng?
Pertama, bentuk baru perbudakan. Bentuk-bentuk perbudakan tersebut, kata Asfinawati, merupakan hasil identifikasi yang dilakukan oleh Kelompok Kerja Perbudakan (Working Group on Slavery) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tahun 1975.
Bentuk-bentuk baru perbudakan tersebut adalah jeratan utang yang banyak terjadi di lingkungan pekerja migran, perhambaan, buruh anak atau perhambaan anak, perdagangan orang dan organ tubuh manusia, serta perbudakan seksual.
“Lalu, ada pula pelibatan anak dalam konflik bersenjata yang tidak pernah kita pikirkan masuk ke dalam praktik-praktik perbudakan. Kemudian, ada perdagangan anak, pemaksaan perkawinan atau penjualan pengantin, eksploitasi prostitusi, dan pekerja migran,” papar Asfinawati.