Iman mengungkapkan, tindak kekerasan seksual seperti pencabulan, pemerkosaan, dan tindakan asusila lainnya di satuan pendidikan berbasis agama bukan pertama kali terjadi. Dalam catatan P2G, kasus kekerasan seksual yang mencuat menjadi perbincangan publik di media pada 2021 terjadi di satuan pendidikan agama, baik status formal maupun nonformal.
"Data 27 kabupaten/kota belum termasuk kekerasan seksual yang terjadi di luar satuan pendidikan agama formal, seperti kasus pencabulan terhadap belasan anak laki-laki oleh guru mengaji di Padang dan Ternate," jelas dia.
Baca Juga:
Guru Agama Diduga Cabuli Delapan Siswi SD di Gunungsitoli Terancam 20 Tahun Penjara
Iman menambahkan, rata-rata korban kekerasan seksual di satuan pendidikan agama adalah anak di bawah umur dengan usia di bawah 18 tahun, bahkan ada yang usia tujuh tahun seperti kasus di Pondok Pesantren Jembrana, Bali. Umumnya, kata dia, kekerasan seksual dilakukan berkali-kali dalam kurun waktu lebih dari satu tahun.
"Korban kekerasan seksual tidak selalu santri perempuan, juga santri laki-laki seperti kasus Bantul, Sidoarjo, Jembrana, Solok, dan korban pedofilia terbesar hampir 30 santri di pesantren Ogan Komering Ilir," pungkas dia.
Aksi tak terpuji HW dilakukan sejak tahun 2016. Dalam aksinya tersebut, ada sebanyak 12 orang santriwati yang menjadi korban yang pada saat itu masih di bawah umur. Belakangan korban menjadi 21 santriwati. (tum)