"Dua, pemerintah wajib transparan di mata rakyat mengingat bila disahkan memiliki potensi berbenturan dengan Pasal 458 UU Penerbangan," katanya.
Ketiga, saat FIR 1995 memang disahkan dengan Keppres. Namun hal ini karena pada masa itu belum ada UU Perjanjian Internasional yang baru mulai berlaku tahun 2000 sehingga saat itu pemerintah bebas menentukan apakah dengan Keppres atau UU.
Baca Juga:
Pertemuan Bilateral Vietnam, Prabowo Komitmen Ratifikasi ZEE
"Keempat Perjanjian FIR perlu mendapat pembahasan oleh DPR sebagaimana diatur dalam Pasal 10 UU Perjanjian Internasional di mana DPR tidak sekedar mengevaluasi sebagaimanan diatur dalam Pasal 11 ayat 2 UU Perjanjian Internasional," cetus Hikmahanto Juwana yang juga Rektor Universitas Jenderal Ahmad Yani, Bandung, itu.
Legislator Golkar, Christina Aryani berpendapat sama dengan Hikmahanto. Perihal FIR, katanya, harus diratifikasi dengan UU.
Dia menegaskan meskipun FIR mengatur hal teknis tapi tetap perlu persetujuan DPR karena terkait kedaulatan.
Baca Juga:
Sebutan 'Yang Mulia' bagi Hakim, Mahfud MD: Sangat Berlebihan
Christina menjelaskan Pasal 10 UU No 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional mengatur jenis-jenis perjanjian internasional yang harus disahkan dengan undang-undang dan membutuhkan persetujuan DPR. Dia mengatakan perjanjian-perjanjian tersebut ditentukan berdasarkan materi yang diatur dan bukan nama atau nomenklaturnya.
"Kami berpendapat FIR walaupun mengatur hal teknis, juga terkait erat dengan kedaulatan dan karenanya membutuhkan persetujuan DPR dalam pengesahannya. Tidak tepat ratifikasi melalui Perpres," kata Christina
Christina lantas menjelaskan perihal keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 13 Tahun 2018 yang memutuskan pasal 10 inkonstitusional bersyarat, sepanjang ditafsirkan hanya jenis-jenis perjanjian dalam Pasal 10 itu saja yang membutuhkan persetujuan DPR.