Wahanaadvokat.com I Seperti diketahui, hingga saat ini Revisi Undang-Undang No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (Migas) belum juga dibahas oleh dewan legislasi atau DPR dan pemerintah.
Pengamat sekaligus Praktisi Industri Migas Tumbur Parlindungan berpandangan bahwa tidak adanya kepastian hukum di sektor minyak dan gas bumi menjadi salah satu alasan investor kabur dari Tanah air.
Baca Juga:
Sepakati Asumsi Makro Sektor ESDM RAPBN 2023, ICP Dipatok USD95 Per Barel
Padahal, menurut Tumbur, yang paling ditunggu-tunggu investor adalah kepastian hukum di sektor migas dan RUU Migas merupakan salah satunya.
"Undang-Undang Migas ini membuat suatu kepastian hukum dalam melakukan investasi di hulu migas, ini yang paling kita tunggu. Yang investor tunggu itu Undang-Undang Migas seperti apa," ujarnya dalam Energy Corner CNBC Indonesia, Rabu (22/12/2021).
Selain UU Migas, Omnibus Law atau Undang-Undang No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang juga baru-baru ini dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi (MK) juga menambah kekhawatiran bagi investor.
Baca Juga:
Perkuat Kelembagaan SKK Migas, DPR Bakal Bahas Revisi UU Migas
Diketahui, MK memutuskan bahwa UU Cipta Kerja tidak sesuai konstitusi atau inkonstitusional bersyarat dan harus diperbaiki dalam jangka waktu dua tahun.
"Karena ada dua tahun untuk menyelesaikannya lagi. Jadi, tidak ada ketidakpastian hukum ini membuat mereka masih wait and see," ucapnya.
"Meskipun masih beberapa big player (investor asing di sektor migas) ada di Indonesia, tapi karena kepastian hukum ini belum ada, ada beberapa yang keluar," kata Tumbur melanjutkan.
Masalahnya, selama tidak ada kepastian hukum yang ditegakkan di Indonesia, maka menurutnya investor ogah untuk kembali berinvestasi.
Investor masih harus menunggu seperti apa hasil keputusan dari Revisi UU Migas dan seperti apa keputusan pemerintah di dalam aturan-aturan turunannya.
"Dilihat bagaimana implementasinya, baru mereka akan berpikir kembali untuk kembali ke Indonesia atau investor lain untuk datang ke Indonesia," ujarnya.
"Wait and see ini yang kita gak tau berapa lama dan kita gak tau berapa lama bisa melakukan perubahan-perubahan tadi supaya mereka merasa secure/aman untuk melakukan investasi, terutama untuk kontrak kepastian hukumnya. Itu yang mereka tunggu," kata Tumbur menjelaskan.
Menurut Tumbur, Indonesia memiliki banyak sumber daya alam yang bisa diberdayakan untuk melakukan eksplorasi migas. Namun itu saja tak cukup karena investor sekali lagi, dia menegaskan, hanya butuh kepastian hukum.
"Secara resources kita gak takut, tapi secara kepastian hukum itu yang paling mendasar," tegasnya.
Kendati demikian, baru-baru ini Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR Supratman menjelaskan Revisi UU Migas akan dibahas dengan kumulatif terbuka.
Revisi UU Migas akan dibahas berdasarkan usulan Komisi VII DPR, yang juga sudah disepakati oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas).
Secara hukum, berdasarkan hasil putusan Mahkamah Konstitusi (MK) maka Revisi UU Migas dapat dibahas melalui pengajuan kumulatif terbuka. Artinya meskipun tidak masuk dalam program legislasi nasional (Prolegnas) prioritas tahun 2022, RUU Migas bisa tetap diusulkan dan akan dibahas tahun depan.
"Kami sudah sepakat dengan Menteri ESDM bahwa RUU Migas akan menjadi inisiatif DPR. Tentu saja nanti Pak Menteri akan diundang secara formal ke DPR terkait tahapan inisiatif RUU yang berasal dari DPR. Kami di DPR sudah bersepakat bahwa, aspek formil RUU Migas harus dijaga betul, agar nanti tidak muncul gugatan-gugatan" jelas Supratman belum lama ini saat ditemui di Hotel Fairmont Jakarta, Rabu (15/12/2021).
Pembahasan Revisi UU Migas memang sudah mangkrak sejak satu dekade ini. Pembahasan revisi UU Migas terus tertunda selama bertahun-tahun. Pada tahun 2018, Revisi UU Migas sempat masuk program legislasi nasional prioritas tahun 2018 dan dibawa ke sidang paripurna tahun 2019.
Namun, pembahasannya tertunda antara lain, karena ada uji materi (judicial review) UU Migas Tahun 2001 oleh MK, yang dinilai inkonstitusional. Pasalnya, isi ketentuan undang-undang itu sudah tidak relevan dengan kebutuhan industri migas saat ini.
Sayangnya, kata Supratman, inisiasi DPR untuk membahas Revisi UU Migas ini tidak disambut dengan baik oleh pemerintah. Sehingga, Revisi UU Migas ini belum juga dibahas oleh DPR dan pemerintah. [tum]