Wahanaadvokat.com | Dr Adya Paramita Prabandari, ahli hukum penerbangan Universitas Diponegoro (Undip) Semarang, menilai perjanjian Indonesia-Singapura bisa saja disebut melanggar UU Penerbangan.
Namun menurut Adya, ada hal positif yang bisa dipetik oleh Indonesia dari perjanjian itu.
Baca Juga:
Presiden Jokowi Teken Perpres FIR, Ambil Alih Ruang Udara Kepri & Natuna dari Singapura
"Di satu sisi, perjanjian ini memang bisa dibilang bertentangan dengan mandat Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan yang di Pasal 458 menyatakan bahwa Wilayah udara Republik Indonesia,”
“Yang pelayanan navigasi penerbangannya didelegasikan kepada negara lain berdasarkan perjanjian sudah harus dievaluasi dan dilayani oleh lembaga penyelenggara pelayanan navigasi penerbangan paling lambat 15 (lima belas) tahun sejak Undang-Undang ini berlaku,”
“Artinya di tahun 2024, semestinya Indonesia telah bisa mengambil alih pendelegasian tersebut dan mengelola FIR dengan kemampuan sendiri," kata Adya kepada detikcom, Senin (31/1/2022).
Baca Juga:
Sah! RI Berhasil Rebut Ruang Udara Kepri dari Singapura
Namun demikian, Perjanjian FIR Indonesia dengan Singapura yang ditandatangani pada tanggal 25 Januari 2022 dinilai Adya memberikan angin segar dalam penyelesaian permasalahan penguasaan pengelolaan FIR di wilayah Kepulauan Riau dan Natuna.
"Dengan adanya Perjanjian FIR tersebut, berarti apa yang diatur dalam Pasal 458 UU Penerbanhan telah dikesampingkan karena meskipun FIR di wilayah Kepulauan Riau dan Natuna sudah berada di bawah penguasaan Indonesia,”
“Namun pada prakteknya untuk pengelolaan masih didelegasikan kepada Singapura untuk jangka waktu 25 tahun ke depan," beber Adya.