Wahanaadvokat.com | Transparency International Indonesia (TII) memberikan empat rekomendasi untuk perbaikan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia.
"Pertama, pemerintah harus membatalkan pembatasan yang tidak proporsional terhadap kebebasan berekspresi, berserikat dan berkumpul yang diterapkan sejak awal pandemi dan memastikan keadilan dan proporsionalitas penegakan hukum terhadap pembela hak asasi manusia di ruang publik, baik secara fisik maupun daring," kata Deputi Transparency International Indonesia (TII) Wawan Suyatmiko dalam konferensi pers secara virtual di Jakarta, Selasa (25/1/2022).
Baca Juga:
26 Pengungsi Rohingya Kabur dari Penampungan di Pekanbaru
Pada hari ini TII merilis IPK atau "Corruption Perception Index" (CPI) Indonesia pada 2021 yang naik tipis 1 poin menjadi 38 dari sebelumnya 34 pada 2020 atau berada di posisi 96 dari 180 negara yang disurvei.
IPK tersebut mengacu pada 9 sumber data dan penilaian ahli untuk mengukur korupsi sektor publik di 180 negara dan teritori. Skor dari 0 berarti sangat korup dan 100 sangat bersih.
"Kedua, mengembalikan independensi dan kewenangan otoritas lembaga pengawas kekuasaan," tambah Wawan.
Baca Juga:
Suap ke Ade Yasin dari Pihak Swasta Diduga Melalui Ajudan
Menurut Wawan, badan pengawasan seperti lembaga antikorupsi dan lembaga pemeriksa/pengawas harus kembali mandiri dan bebas dari intervensi kekuasaan manapun, memiliki sumber daya yang baik, dan diberdayakan untuk mendeteksi dan memberikan hukuman atas pelanggaran.
Artinya parlemen dan pengadilan sebagai fungsi pengawas dan penyeimbang kekuasaan juga harus melakukan tugasnya secara konsekuen dan mandiri.
"Ketiga, pemerintah diminta serius dalam menangani kejahatan korupsi lintas negara dengan memperbaiki kelemahan sistem yang memungkinkan korupsi lintas negara yang tidak terdeteksi atau tanpa sanksi," ungkap Wawan.
Pemerintah dan DPR diminta untuk menutup celah hukum, mengatur profesional pendukung kejahatan keuangan, dan memastikan bahwa koruptor dan kaki tangannya tidak dapat melarikan diri dari hukuman serta melakukan optimalisasi pemulihan aset negara.
"Keempat, pemerintah harus menegakkan dan mempublikasikan hak atas informasi sepanjang penanganan pandemi," tambah Wawan.
Sebagai bagian dari upaya pemulihan COVID-19, pemerintah harus memasukkan prinsip-prinsip antikorupsi dalam pengadaan publik dan perlindungan terhadap warga negara termasuk transparansi penuh dalam pembelanjaan publik dalam rangka melindungi kehidupan dan mata pencaharian warganya.
Sedangkan Deputi Pencegahan KPK Pahala Nainggolan yang hadir sebagai penanggap dalam acara tersebut mengatakan kunci untuk meningkatkan IPK Indonesia adalah pembenahan korupsi politik.
"Politik paling sulit dilakukan pencegahan korupsi. Kalau orang pikir pilkada jadi sumber korupsi, ya memang ada masalah di pemilihan kepala daerah dan provinsi, UU Pilkada perlu diganti, tapi itu tidak langsung terkait dengan korupsi. KPK berharap TII juga mendorong untuk perbaikan partai politik," kata Pahala.
Pahala menyebut saat ini dana untuk parpol yang dianggarkan pemerintah hanya Rp1000 per satu suara padahal menurut KPK dibutuhkan Rp25 ribu per satu suara bagi parpol agar dapat menutup biaya politik.
"Ini biayanya bukan untuk kampanye tapi untuk pendidikan politik. Selama ini parpol mendapatkan pembiayaan dari kadernya yang ada di DPR atau DPRD atau birokrat lalu ada juga kader yang jadi pengusaha jadi ada pengusaha jadi politisi, politisi jadi pengusaha, sentuhan pemerintah sedikit ke poltik," ungkap Pahala.
Pahala mengakui selama ini pemerintah masih sedikit menyentuh perbaikan parpol.
"Padahal semua tahu praktik yang terjadi seperti yang ada di survei TII tapi belum ada substansi yang mencoba mengubah hal ini. Coba deh dilihat tahun depan seperti apa, paling berubah 1-2 poin lagi, sampai kapan seperti ini?" tambah Pahala.
KPK, menurut Pahala, meyakini bila ada perubahan fundamental di parpol maka IPK Indonesia dapat meningkat secara drastis.
"Saya yakin kalau secara fundamental memperbaiki parpol dengan semua yang ada di dalamnya maka IPK dapat membaik karena kita butuh lompatan, tidak bisa lagi hanya bergeser karena sudah 76 tahun merdeka dan 26 kali diukur IPK-nya masa selalu di bawah rata-rata dunia? Kita mempermalukan diri sendiri," ungkap Pahala.
Instrumen perbaikan korupsi politik yang terdiri dari perbaikan di sektor parpol, pilkada dan dilanjutkan teknologi pelayanan publik menurut Pahala menjadi hal yang mutlak.
"Gambarannya jelas perlu sektor diperbaiki selain itu juga perbaikan korupsi tradisional seperti pengadaan barang jasa, jual beli jabatan, perizian semuanya terkait IPK. Saya mengajak TII, masyarakat untuk berperan, berkolaborasi karena salah besar korupsi itu masalah sederhana dengan solusi sederhana bila berpikir seperti itu skor IPK Indonesia tidak akan maju-maju dan tidak ada perubahan drastis," kata Pahala. [tum]