Pada waktunya, mereka akan berhenti tumbuh progresif ketika negara tak mampu lagi memobilisasi berbagai sumber daya untuk digelontorkan sebagai input ekonomi.
Tak butuh waktu lama asumsi dari Krugman tersebut berbuah fakta.
Baca Juga:
Menkeu: Kesetaraan Gender Bisa Tambah PDB Global 28 Triliun Dolar AS
Tiga tahun kemudian, 1997, krisis Asia membuktikan itu.
Tata kelola yang otokratik menghasilkan manajemen ekonomi yang dipenuhi praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).
Walhasil, krisis mata uang yang bermula di Thailand berujung pada tumpukan utang dari pengusaha-pengusaha yang notabene adalah kroni dan keluarga dari penguasa.
Baca Juga:
Tentukan Iduladha, Kemenag bakal Pantau Hilal di 86 Lokasi
Devaluasi yen sebelum Plaza Accord 1985 membuahkan utang murah dari ”Negeri Sakura” yang dilahap oleh konglomerasi-konglomerasi rekanan penguasa.
Namun, pembalikan nilai tukar yen pasca-1985 sampai 1996 menjerumuskan utang-utang tersebut ke dalam lubang yang lebih dalam, lalu rumah manajemen ekonomi nasional itu kolaps seketika.
Bangunan kertas itu harus diselamatkan dengan rangka bangunan baru yang berlandaskan likuiditas talangan dari negara.