Ekosistem Ekonomi Hibrida
Baca Juga:
Permintaan Tinggi, Sumatera Barat kembali Ekspor Cecak 670 Kg ke Hong Kong
Memasuki era Jokowi, Indonesia dibawa ke ekosistem ekonomi hibrida di mana secara fiskal pemerintah berjuang habis-habisan untuk berbelanja infrastruktur, tetapi secara makro masih dikelola dengan gaya neoklasikal.
Artinya, proyek-proyek infrastruktur hanyalah instrumen untuk mengamankan angka raihan pertumbuhan ekonomi agar tidak makin melemah, dengan inflasi rendah via rekayasa supply (impor).
Ini terutama sejak era commodities boom mulai berakhir dan pemerintahan yang baru kehilangan akal menemukan sumber pertumbuhan baru, kecuali infrastruktur.
Baca Juga:
PMN bakal Percepat Pembangunan Jalan Tol Trans Sumatera
Pemerintah tidak lagi mencoba berkiblat pada pengalaman Jepang, Korea Selatan, Taiwan, atau sekarang China yang mengintegrasikan kebijakan infrastrukturnya tidak saja untuk pertumbuhan ekonomi, tetapi juga untuk mengokohkan daya saing industri nasional dan menggairahkan sektor pertanian dengan disiplin ekspor tingkat tinggi.
Sampai saat ini pun kita kian hari dibuat terlena dengan raihan pertumbuhan ekonomi yang secara komparatif digadang-gadang sangat mengesankan dengan tingkat inflasi yang nyaris sejajar dengan lantai.
Namun, di tengah-tengah euforia pertumbuhan ekonomi dan proyek-proyek infrastruktur itu, industri baja meradang, industri semen kelebihan produksi, industri pelayanan penerbangan kelimpungan, industri asuransi dilanda skandal demi skandal, manufaktur nasional menua dan deindustrialistik, bersamaan dengan petani-petani yang menyaksikan hasil pertaniannya dilindas oleh komoditas impor yang ikut nimbrung di atas aspal jalan desa hasil karya proyek infrastruktur negara.