Korea Selatan dan Taiwan, yang sejak semula cukup serius menjiplak gaya developmental Jepang dan sejak 1980 mulai beralih ke ekonomi politik demokratis, pelan-pelan bisa selamat.
Sementara Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, dan Thailand terjebak di dalam komplikasi struktural yang akut, yang sampai hari ini masih sulit menorehkan kembali angka-angka besar pertumbuhan ekonomi tahunan layaknya tahun 1980-an.
Baca Juga:
Permintaan Tinggi, Sumatera Barat kembali Ekspor Cecak 670 Kg ke Hong Kong
Singapura dan Hongkong masih beruntung karena berstatus sebagai negara pelabuhan dengan jumlah penduduk yang kecil.
Taraf hidup tinggi sudah dicapai walaupun gerak-gerik ekonominya tidak lagi selincah dulu.
Indonesia, pasca Orde Baru, mengubah arah nyaris 360 derajat, dengan meninggalkan gaya developmental setengah hati Soeharto menuju pendekatan neoklasikal sepenuh hati.
Baca Juga:
PMN bakal Percepat Pembangunan Jalan Tol Trans Sumatera
Diawali dengan supervisi IMF dan para teknokrat neoklasikal, Indonesia dipaksa tunduk pada aturan main penyesuaian struktural dengan disiplin fiskal kelas dewa, tetapi bukan untuk kemaslahatan rakyat banyak, melainkan untuk meyakinan para donor dan pemberi pinjaman bahwa Indonesia masih menjadi rentetan pulau-pulau yang layak diutangi.
Walhasil, kini Indonesia hanya butuh angka raihan ekonomi yang baik dengan tingkat inflasi yang moderat bersamaan dengan pertumbuhan penerimaan negara via berbagai cara agar rating surat utang negara tetap bercokol di ranah ”layak” dan ”positif”.
Perkara apakah industri nasional dihajar produk-produk manufaktur dari luar atau para petani di perdesaan dipojokkan oleh komoditas impor berharga miring sudah bukan perkara penting lagi bagi pemerintah.